Jumat, 21 Agustus 2015

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN OLEH PENGELOLA PERPARKIRAN SWASTA (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010).




KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini, penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarja Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Darma Agung. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Mhd.Taufiq, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung
2.      Bapak Syawal A.Siregar, SH, SpN.MM Selaku Dosen Wali
3.      Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Elfrida Aryani Lubis, SH, MH selaku dosen pembimbing saya yang telah membantu dan membimbing saya memberikan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.
4.      Seluruh Dosen pengajar, pelaksana administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Universitas Darma Agung yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani perkuliahan.
5.      Seluruh rekan-rekan penulis angkatan stambuk 2010 kelas sore, anes, rendi, boyke, linda, abi, genius, ester, marla, andre, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
6.      Seluruh rekan-rekan penulis di DPC Permahi Medan, Abangda Andreas, Marzuki, Riswanto, Petrus, Lasman, Edyson, Jonathan, Ridho, Hikler, Husein, Natalia, Synta, Lidya, Cindy, Imelda, Dyah, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang sangat luar biasa memberikan bantuan dan juga semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.      Bapak Suhendro Saputra, S.H., M.kn., selaku Notaris di kantor dimana penulis magang, serta rekan-rekan penulis di kantor Notaris Suhendro Saputra, S.H., M.kn., Kak Rintus dan Steven.
8.      Teman-Teman Karateka Inkanas Sumut Sabuk Hitam terutama Restu dan Fadhil.

Selanjutnya penulis persembahkan apa yang penulis hasilkan khusus kepada kedua orang tua, Robin dan Mariati Saragih, Terima kasih yang tidak terhingga atas segala pengorbanan dan kasih sayang dalam merawat, membesarkan dan mendidik serta membimbing penulis agar menjadi orang yang berguna.
Dan juga kepada kedua kakak tercinta, Widya Salina, Amd dan Wijuni Salim Amd serta adik saya tercinta, Achi, terima kasih atas kasih sayang dan semangatnya kepada penulis.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati  penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritikyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan,     September 2014
                                                                                                Penulis,

JOKO PRABOWO
NPM : 10.021.111.147
  





1.      Nama                   : JOKO PRABOWO
2.      NPM                     : 10.021.111.147

3.      Jurusan                : HUKUM PERDATA
4.      Program Studi     : ILMU HUKUM
5.   Judul Skripsi         : “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN   BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN OLEH PENGELOLA PERPARKIRAN SWASTA (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010).
6.      Tanggal Ujian      : ..............................................
7.      Waktu Ujian        : ..............................................
8.      Tempat Ujian      : ..............................................
9.      Nilai Ujian           : ..............................................
10.  Keterangan          : ..............................................
DOSEN PENGUJI :                                                              
1. ...............................                                                            
2. ...............................
3. ...............................                                                            
PANITIA UJIAN
                Ketua                                                                Sekretaris


(Mhd. Taufiqurrahman, S.H, M.H)                       (Mhd. Yasid Nasution, S.H, M.H)
Diketahui Oleh
Dekan

(Mhd. Taufiqurrahman, S.H, M.H)










DAFTAR ISI

Hal.
DAFTAR ISI ................................................................................................................... i
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A.    Latar Belakang ............................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
C.    Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
D.    Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
E.     Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 5
F.     Metode Penelitian.......................................................................................... 7
G.    Sistematika Penulisan .................................................................................. 9
BAB II : DASAR HUKUM PERJANJIAN BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN DALAM KAITAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ........................................................... 11
A.    Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen............................................ 11
1.      Pengertian Perlindungan Hukum....................................................... 11
2.      Pengertian Konsumen.......................................................................... 11
3.      Perlindungan Konsumen...................................................................... 12
B.     Dasar Hukum Perjanjian Parkir............................................................... 12
1.      Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen....................................... 12
2.      Hak dan Kewajiban Konsumen........................................................... 13
3.      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha..................................................... 15
4.      Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen................................... 17
5.      Dasar Hukum Perjanjian Baku dalam Jasa Perparkiran................ 18
BAB III : KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PARKIR ........................... 21
A.    Keabsahan Perjanjian Standar................................................................. 21
B.     Landasan Keterikatan................................................................................ 21
1.      Individu Sebagai Sumber..................................................................... 21
2.      Hukum Objektif Sebagai Sumber....................................................... 22
3.      Individu dan Hukum Objektif Sebagai Sumber................................ 22
C.    Tolak Ukur Menurut Hukum Perjanjian Indonesia............................... 23
1.      Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen................................................................................................................ 23
2.      Pengaturan dalam KUH Perdata........................................................ 26
3.      Kekuatan Mengikat dari Klausul Baku yang Memberatkan Pengguna Parkir 27
BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM MEMBEBANKAN RISIKO KEHILANGAN KENDARAAN BERMOTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
RI NOMOR : 2157K/PDT/2010................................................................ 29
A.    Tingkat Pengadilan Negeri Samarinda – Putusan No. 03/Pdt.G/2009/PN.Smda     29
1.      Kronologis.............................................................................................. 29
2.      Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda.......... 33
3.      Putusan Pengadilan Negeri Samarinda.............................................. 35
B.     Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Samarinda - Putusan
No. 122/Pdt/2009/PT.Smda........................................................................ 36
C.    Tingkat Kasasi Mahkamah Agung – Putusan No. 2157 K/Pdt/2010..... 36
1.      Pertimbangan Mahkamah Agung....................................................... 36
2.      Putusan Mahkamah Agung................................................................. 39
BAB V : PENUTUP .................................................................................................... 41
A.    Kesimpulan ................................................................................................. 41
B.     Saran ........................................................................................................... 43
BAB V : DAFTAR PUSTAKA  


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan jaman, kebutuhan akan penggunaan alat transportasi semakin meningkat terutama terhadap kendaraan bermotor pribadi. Keberadaan kendaraan bermotor saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat dari berbagai kalangan guna melakukan aktifitasnya sehari-hari, Penggunaan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat membuat efisiensi waktu dan tenaga karena kendaraan bermotor diciptakan memang untuk membantu aktivitas manusia. Seiring dengan meningkatnya transportasi banyak gedung-gedung pusat perbelanjaan dibangun dengan menyediakan fasilitas lengkap termasuk fasilitas penitipan barang. Salah satu fasilitas penitipan barang yang disediakan adalah penitipan kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat (mobil), penitipan inilah yang kemudian dikenal oleh masyarakat kebanyakan dengan istilah parkir.
Usaha perparkiran merupakan salah satu jenis usaha yang cukup menarik untuk diperhatikan mengingat kebutuhan akan jasa parkir telah menjadi bagian terpenting bagi masyarakat perkotaan di Indonesia, Usaha perparkiran merupakan salah satu tempat usaha yang masih banyak mencantumkan klausula baku dalam prakteknya, terutama tempat-tempat parkir swasta seperti di mal dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya.
Parkir adalah setiap kendaraan yang berhenti pada tempat-tempat tertentu baik yang dinyatakan dengan rambu ataupun tidak, serta semata-mata untuk menaikkan dan atau menurunkan orang dan atau barang. Sedang termasuk dalam pengertian berhenti antara lain berhenti untuk sementara waktu yang dimaksudkan untuk kepentingan menaikkan dan atau menurunkan orang dan atau barang, alat pemberi isyarat lalu lintas menunjukkan cahaya warna merah dan berhenti didepan tempat penyeberangan (zebra cross).[1] Dari segi kata sendiri “parkir, “memarkir” adalah menghentikan atau menaruh (kendaraan bermotor) untuk beberapa saat ditempat yang sudah di sediakan.[2] Dari pengertian tersebut tidak terlihat adanya kewajiban atau tanggung jawab dari orang yang menyediakan tempat.
“Titip”, “menitip” adalah menaruh (barang tersebut) supaya disimpan (dirawat, disampaikan kepada orang lain dan sebagainya),[3] Menurut definisi KUHPerdata Pasal 1694, Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud aslinya.[4] Bertolak belakang dengan pengertian “parkir”, “memarkir” dalam pengertian “titip”, “menitip” terlihat adanya tanggung jawab dari orang yang menerima titipan yaitu untuk menyimpan/merawat barang yang dititipkan.
Pengertian-pengertian sebagaimana dipaparkan di atas pada intinya merupakan pengertian yang ada di dalam benak masyarakat sehingga terkadang masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa parkir ragu bahkan tidak berani memperkarakan kasus hukum yang terkait dengan penitipan sepeda motor atau mobil, misalnya dalam kasus terjadinya kehilangan motor atau mobil di area parkir pusat perbelanjaan karena kelalaian petugas terkait. Menurut R.M.Suryodinigrat, SH sebenarnya kewajiban tukang parkir mobil, sepeda motor berdasarkan KUH Perdata Pasal 1707 diperberat karena tukang parkir menawarkan jasa-jasanya untuk menerima titipan mobil, sepeda motor selama waktu tertentu.[5]
Tetapi pada kenyataannya pengguna jasa parkir banyak yang kurang memahami akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen, sehingga apabila terjadi adanya kerugian terhadap pengguna jasa parkir di lahan parkir maka pengelola parkir kebanyakan tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukannya, pencantuman klausula baku yang berisikan pengalihan tanggung jawab pengelola parkir adalah salah satu buktinya, hal ini sangat merugikan pengguna jasa parkir. Oleh karena itu, konsumen membutuhkan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepadanya. Hal ini diantaranya dapat dilihat dalam dunia bisnis perparkiran swasta, salah satunya praktek pemakaian kontrak baku oleh pengelola parkir swasta.
Selain itu berbagai anggapan terkait masalah pengertian parkir masih dipahami beragam oleh berbangai masayarakat, sehingga berpengaruh pada pemahaman hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebagian masyarakat masih memahami bahwa tanggung jawab pengelola parkir adalah sebatas penyediaan tempat untuk memarkirkan kendaraan bagi pengelola parkir. Sebagian lagi berpandangan bahwa selain menyadiakan tempat parkir, pengelola parkir juga wajib menjaga keamanan kendaraan, termasuk bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan
Pemakaian klausula baku yang dimaksud adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh salah satu pihak, bahkan kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir tertentu, sehingga ketika kontrak ditandatangi para pihak hanya mengisi data-data informative tertentu saja dnegan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausula, dimana para pihak tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak, dalam hal ini dalam dunia kredit adalah pihak kreditur sedang dalam dunia jasa adalah pihak penyedia jasa. Sehingga biasanya sangat berat sebelah terutama oleh pihak-pihak yang sangat membutuhkan seperti debitur dan pengguna jasa.
Sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No. 2157 K/Pdt/2010, dimana Penggugat I Ramadahan M dan Pengggugat II Ariyanti adalah pengguna jasa parkir dari pihak Tergugat yaitu PT.  Cipta Sumina Indah Satresna, masing-masing pihak penggugat telah kehilangan kendaraan bermotor roda dua dari lokasi parkir PT. Cipta Sumina Indah Satresna tersebut. Namun Pihak Tergugat tidak mau bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan tersebut demikian pada tingkat pertama Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Samarinda dan tingkat Kasasi Tergugat/Pembanding mendalilkan bahwa klausula baku tersebut mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen sesuai Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan : “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan telebih dahulu secara sepihak oleh para pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Demikian juga klausula dalam karcis parkir yang dicantumkan oleh pengelola parkir, pengelola parkir beranggapan klausula itu sudah sangat jelas sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 1342 BW yang menyebutkan bahwa : “Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.     
Dari uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan  judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN OLEH PENGELOLA PERPARKIRAN SWASTA (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahannya dalam penelitian ini adalah :
1.      Apa dasar hukum pemakaian perjanjian baku dalam jasa perparkiran?
2.      Bagaimana perjanjian baku dalam perjanjian parkir apakah memiliki kekuatan mengikat?
3.      Apa pertimbangan hakim membebankan risiko kehilangan kendaraan bermotor pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010? 


C.    Tujuan Penelitian
Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dasar hukum pemakaian perjanjian baku dalam jasa perparkiran.
2.      Untuk mengetahui bagaimana perjanjian baku dalam perjanjian parkir apakah memiliki kekuatan mengikat.
3.      Untuk mengetahui pertimbangan hakim membebankan risiko kehilangan kendaraan bermotor pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010.

D.    Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain :
1.      Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu hukum dan memberi sumbangan pemikiran dalam memperbanyak referensi ilmu hukum, khususnya bidang hukum perdata yang berkaitan dengan perjanjian baku.
2.      Secara Praktis
Dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam serta bahan pegangan bagi masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa perparkiran  dalam upaya mendapatkan perlindungan hukum.
E.     Tinjauan Pustaka
1.      Pengertian Perjanjian Pada Umumnya
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjnaji untuk melaksanakan suatu hal[6]. Pembahasan mengenai suatu perjanjian sangat erat kaitannya dengan perikatan, dimana perjanjian merupakan salah satu su,ber atau yang menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, dalam aspek hukum peraturan yang berlaku dalam perjanjian diatur dalam KUH Perdata Buku Ketiga yang membahas mengenai “Perikatan”, lebih spesifik lagi ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Bab Kedua, dengan kata lain Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata, karena perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan.
Pengetian Perjnajian yang tercantum pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian adalah :
“Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a)      Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b)      Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c)      Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
2.      Syarat sahnya perjanjian pada umumnya
Dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :
a)      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
b)      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c)      Satu hal tertentu (objek); dan
d)     Suatu sebab yang halal.
Keempat hal itu, dikemukakan berikut ini :
a)      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Suatu kata sepakat dari para pihak merupakan salah satu syarat dari suatu perjanjian (Toestemming)[7]. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Menurut Sudikno Mertokusumo ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
a.       Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b.      Bahasa yang sempurna secara lisan;
c.       Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d.      Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e.       Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.[8]
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.
b)     Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undan-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang, untuk melakukan perbuatan hukum :
a.       Anak di bawah umur (minderjarigheid),
b.      Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
c.       Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun ketentuan ini telah dihapus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
c)      Satu hal tertentu (objek) (Onderwerp der Overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi; kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:
a.       Memberikan sesuatu.
b.      Berbuat sesuatu, dan
c.       Tidak berbuat sesuatu (Pasa1 1234 KUH Perdata).
Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Contoh lainnya, dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah. Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapai dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya di dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara cukup. Misalnya, A membeli lemari pada B dengan harga Rp500.000,00. Ini berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda lainnya.
d)     Suatu sebab yang halal (Geoorloofde Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh A menjual sepeda motor kepada B. Akan tetapi, sepeda motor yang dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan barang yang dibelinya itu barang yang sah. Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Bila syarat pertama dan kedua (subjektif) tidak terpenuhi, perjanjian dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan (Vernietigbaur).[9] Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sedangkan bila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (null and void).[10] Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
3.      Pengertian Perjanjian Baku
Di dalam kepustakaan hukum Inggirs untuk istilah perjanjian baku digunakan istilah standardized agreement  atau standardized contrack. Sedangkan kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract.
Perjanjian Baku adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak dan pihak lainnya hanya mempunyai pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut tanpa diberi kesempatan untuk merundingkan isinya.[11] Karena itu perjanjian baku atau standart contract sering disebut juga take it or leave it contract, Perjanjian baku biasanya sudah dicetak dan isinya dibuat seragam.[12]
Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah[13] :
“Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak terebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak bakuan sich adalah netral”.

Hondius mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah[14]:
“Syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”

Inti dari perjanjian baku menurut Hondius adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya.
Mariam Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan, Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan cirri-ciri perjanjian baku. Ciri perjanjian baku, yaitu[15] :
a)      Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.
b)      Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.
c)      Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
d)     Bentuk tertentu (tertulis).
e)      Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Sutan Remy Sjahdeini juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku. Perjanjian baku adalah[16]:
“Perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lainnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandardisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsure-unsur kontrak baku[17], yaitu:
a)      Diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat;
b)      Dalam bentuk sebuah formulir; dan
c)      Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.
Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat.
a)      Syarat sahnya Perjanjian Baku
Syarat sahnya suat perjanjian standar adalah sama halnya dengan syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya. Yaitu sebagaimana yang diatur pada pasal 1320 KHU Perdata antara lain :
1.      Kesepakatan meraka yang mengikatkan diri (will severeenstemming / Agreement)
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity)
3.      Satu hal tertentu (bepaald onderwrep/ certainty o term)
4.      Suatu sebab yang halal (geororloofde orzake/ Legality)
Syarat diatas sifatnya kumulatif. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut tidak sah. Adapun konsekuensi daripada tidak terpenuhinya syarat subyektif yaitu perjanjian dapat dibatalkan. Apabila perjajian yang telah dibuat tidak dibatalkan maka perjanjian tersebut masih mengikat. Berbeda dengan tidak terpenuhinya syarat objektif yaitu apabila tidak terpenuhi maka konsekuensinya akan batal demi hukum. Ada sebuah pertanyaan menarik mengenai perjanjian standar berkaitan dengan syarat sahnya. Dalam perjanjian standar kesepakatan dihasilkan akibat adanya keterpaksaan dari pihak yang kedudukan ekonominya lebih lemah. Apakah perjanjian tersebut dapat dibatalkan? Pada dasarnya dalam mencapai kata sepakat seseorang memiliki kebebasan. Kebebasan tersebut yaitu mengenai sepakat atau tidak, menandatangani perjanjian atau tidak. Di lain sisi dia dapat memilih dengan siapa dia akan membuat perjanjian.
5.      Jenis Penggunaan Perjanjian Baku
Menurut Mariam Darulzaman, perjanjian baku apat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu[18]:
a)      Perjanjian standar sepihak
Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi. Misalnya perjanjian buruh secara kolektif.
b)     Perjanjian standar yang ditetapkan pemerintah
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055 dan lain sebagainya.
c)      Perjanjian standar yang ditentukan di lingkungan notaris
Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “Contact model”.
F.     Metode Penelitian
Soerjono Soekanto mengatakan :
“Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu  pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.”[19]
1.      Jenis Penelitian
Sesuai dengan karekteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis perjanjian baku dalam jasa perparkiran oleh perparkiran swasta (studi putusan Mahkamah Agung RI No. 2157 K/Pdt/2010), maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.[20] penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan per Undang-Undangan yang berlaku. Penelitian hukum yuridis normatif ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang dasar hukum perjanjian baku dalam jasa perparkiran.
2.      Jenis Data
Pengertian data secara umum, yaitu semua informasi mngenai variable atau objek yang diteliti. Lajimnya dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat disebut data primer (primary Data) dan data yang diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder (secondary data).
Berdasarkan hal tersebut, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung diperoleh dari lapangan, tetapi diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumen dan laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
3.      Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dimana data diperoleh. Berdasarkan jenis datanya, maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis bahan hukum. Dalam penelitian ini dikelompokkan mejadi 3 (tiga) yaitu :
a)      Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yakni:
a.       Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
b.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
c.       Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan.
b)      Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: buku-buku, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan penelitian ini.
c)      Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang dapat digunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.
4.      Teknik dan Alat Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan studi dokumen atau studi kepustakaan yang dimaksud adalah memperoleh data dengan mempelajari, meneliti dan menganalisa data sekunder dengan mengaitkan pada pokok permasalahan yang ada.
5.      Teknik Analisis data
Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisis secara kualitatif  dengan menganalisa dan mengamati makna data  yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa  kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[21] Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan  satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[22] Kemudian data tersebut diolah dianalisis secara kualitatif dan sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dapat diuraikan secara keseluruhan yaitu sebagai berikut :
BAB I             Bab ini memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II            Membahas mengenai perlindungan hokum bagi konsumen pengguna jasa parker, sejarah perjanjian baku, dasar hukum perjanjian baku (KUH Perdata dan UU No. 8 Tahun 1999), dasar hukum pemakaian perjanjian baku dalam jasa perparkiran;
BAB III          Membahas mengenai perjanjian baku dalam perjanjian parkir apakah memiliki kekuatan mengikat.
BAB IV          Membahas tentang pertimbangan hakim membebankan risiko kehilangan kendaraan bermotor pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010.
BAB V            Berisi kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu serta saran-saran yang dapat diberikan terhadap pengguna perjanjian baku.



[1] Lihat Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Perparkiran, Penejelasan umum Pasal 1 huruf g
[2]  Kamus Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cetakan Kesepuluh, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal 107.
[3] Ibid, hal.1063.
[4] Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995), hal.107.
[5] RM Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, (Bandung: Tarsito, 1982), hal.89.
[6] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:Intermasa,1991), hal.1.
[7] J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika,2010), hal.168.
[8] Salim HS, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hal.33.
[9] H.Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal20.
[10] Ibid.hal.20.
[11] Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana,2004), hal 126.
[12] Ibid. hal.126.
[13] H.Salim HS, Op.Cit, hal.145.
[14] Ibid.hal 146.
[15] Ibid. hal 146.
[16] Ibid. hal.146-147.
[17] Ibid. hal.147.
[18] Mariam Daruz Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:Alumni 1994), hal.47-48.
[19] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia Press, 1986), hal 43.
[20] Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2010, hal. 34.
[21]Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya), hal 53.
[22]Ibid, Hal. 103

BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA PARKIR
DALAM PEMAKAIAN PERJANJIAN BAKU
A.    Hukum Perlindungan Konsumen
1.      Pengertian Perlindungan Hukum
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”,[1] makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).
Perbuatan hukum (rechtshandeling) diartikan sebagai setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja/atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat atau hibah, dan perbuatan hukum dua pihak seperti jual-beli, perjanjian kerja dan lain-lain.
Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain”[2]
Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain”.[3]
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.[4]
2.      Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang[5]. Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi[6]. Konsumen menurut Pasal 2 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalahsetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Selain pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan masalah ganti rugi. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen berdasarkan Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.[7]
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai akhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen pemakai dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen” yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya.[8] Terdapat beberapa batasan pengertian konsumen, yakni:[9]
a)      Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
b)      Konsumen antara adalah setip orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c)      Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa, untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-komersial).
Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen. Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara), dan dapat terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti supplier, distributor, atau pedagang. Sedangkan konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen.[10] Nilai barang atau jasa yang digunakan konsumen dalam kebutuhan hidup mereka tidak diukur atas dasar untung rugi secara ekonomis belaka, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup raga dan jiwa konsumen.[11]
3.      Perlindungan Konsumen
Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka (1), yaitu perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Meskipun dalam pasal di atas hanya menyebutkan perlindungan terhadap konsumen namun bukan berarti Undang-undang Perlindungan Konsumen ini hanya melindungi konsumen saja, melainkan hak-hak pelaku usaha juga menjadi perhatian, namun hanya karena seringnya konsumen menjadi objek kesewenang-wenangan para pelaku usaha sehingga perlindungan terhadap konsumen terlihat lebih ditonjolkan.
Secara garis besar, perlindungan konsumen dibagi atas tiga bagian besar, yaitu:
a)      hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan,
b)      hak untuk memperoleh barang dengan harga yang wajar,
c)      hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.[12]
Sesuai garis besar yang disebutkan di atas, kemudian disimpulkan menjadi tiga prinsip perlindungan konsumen, yaitu:[13]
a)      Prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen.
b)      Prinsip perlindungan atas barang dan harga.
c)      Prinsip penyelesaian sengketa secara patut.
Selanjutnya, dunia internasional juga ikut memberi perhatian mengenai perlindungan terhadap konsumen yaitu dinyatakan dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.39/248, tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu kepentingan konsumen yang harus dilindungi, yaitu:
a)      Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
b)      Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.
c)      Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.
d)     Pendidikan konsumen.
e)      Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
f)       Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Hukum perlindungan konsumen sampai sekarang belum memiliki pengertian baku baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Namun beberapa orang sering mengartikan hukum perlindungan konsumen sama saja dengan istilah hukum konsumen.
Az Nasution membedakan hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Pembedaan kedua pengertian di atas lebih jauh seperti dikatakan demikian:[14]
“…pada umumnya, hukum umum yang berlaku dapat pula merupakan hukum konsumen, sedang bagian-bagian tertentunya yang mngandung sifat-sifat membatasi dan/atau mengatur syarat-syarat tertentu perilaku kegiatan usaha dan/atau melindungi kepentingan konsumen, merupakan hukum perlindungan konsumen.”
            Menurut pakar hukum yang banyak melibatkan diri dalam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang dimaksud dengan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikannya sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.[15]
Selain dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, hukum perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 383 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berikut ini:[16]
“Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan, dihukum penjual yang menipu pembeli:
a)      dengan sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli,
b)      tentang keadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan dengan memakai akal dan tipu muslihat.”

4.      Perlindungan Konsumen di Indonesia
a)      Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen adalah:
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:[17]
a.       Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b.      Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
c.       Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual;
d.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e.       Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.[18]
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:[19]
a.       asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
b.      asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
c.       asas kepastian hukum.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.[20]
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a.       meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.      mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.       meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.      menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.       menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.       meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.[21]
b)     Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak konsumen. Hak konsumen adalah :
a.       hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.       hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.       hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.      hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.        hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika serikat J.F. Kennedy di depan Kongres pada tanggal
15 Maret 1962, yang terdiri dari:[22]
a.       hak memperoleh keamanan;
b.      hak memilih;
c.       hak mendapat informasi;
d.      hak untuk didengar.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (Organization of Consumer Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:[23]
a.       hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b.      hak untuk memperoleh ganti rugi;
c.       hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d.      hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:[24]
a.       hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid);
b.      hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen);
c.       hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
d.      hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);
e.       hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
Beberapa rumusan tentang hak-hak konsumen yang telah dikemukakan,secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:[25]
a.       hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b.      hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan
c.       hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Oleh karena itu, ketiga hak prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/ merupakan prinsip perlindungan konsumen di Indonesia.
Selain hak konsumen, kewajiban konsumen juga diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:
a.       beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
b.      membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
c.       mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).[26]
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.
Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.[27]
a)      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha mempunyai hak sebagai berikut:
a.       hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.       hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.       hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.[28]
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak pelaku usaha saja, tetapi juga mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha, antara lain:
a.       beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.      memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.       memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.      menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.       memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.       memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.[29]
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan pada saat transaksi dengan produsen.[30]
c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha mempunyai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha adalah:[31]
a.       Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-sundangan yang berlaku.
c.       Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d.      Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e.       Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:
a.       Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
b.      Tanggung jawab kerugian atas pencemaran;
c.       Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.[32]
c)      Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen merupakan hukum konsumen yang memuat asas-asas/kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan umu. Lahirnya hukum perlindungan konsumen karena pada umumnya konsumen berada pada posisi yang lemah dalam hubungan pengusaha/produsen baiks secara ekonomis, tingkat pendidikan, ataupun daya kemampuan, daya saing, daya tawar menawar. Kedudukan konsumen ini baik sendiri/bergabung dalam suatu organisasi tidak seimbang bila dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Untuk mengimbangi kedudukan tersebut perlu adanya hukum perlindungan konsumen.
Hukum Perlindungan Konsumen menurut pendapat R.Setiawan meliputi 2 aspek yaitu:34 perlindungan konsumen
d)     Dasar Hukum Perjanjian Baku dalam Jasa Perparkiran
Dasar hukum perjanjian baku dalam jasa perparkiran.
Meskipun perjanjian standar dinilai kurang mencerminkan roh dari UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, tetapi perjanjian standar ini tetap berkembang terutama dalam dunia bisnis. Adapun faktor yang paling mendorong berkembangnya perjanjian standar adalah konsep dalam perjanjian ada keseragaman, sehingga tidak perlu membuat perjanjian tiap terjadi transaksi antara pelaku usaha. Form telah tersedia, hanya mengisi identitas dan transaksi yang dilakukan. Perjanjian standar lebih cenderung membuat kegiatan lebih efesien dan efektif.
Permasalahan yang hingga saat ini adalah masih ada keraguan dalam terpenuhinya syarat sah perjanjian yaitu apakah perjanjian standar telah memenuhi asas kebebasan berkontrak yang dimaksud Pasal 1320 KUHperdata.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu:[33]
a.      Pasal 6.5.1.2 dan Pasal 6.5.1.3 NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut:
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
b.      Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20-pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
                                            i.            Tunduk salah satu pihak terhadap kontrak baku.
                                          ii.            Pengertian kontrak baku.
c.       Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti diatas akan bergantung pada isi bahasa dan penyajiannya.
d.      Pasal 2.21 berbunyi :
dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
e.       Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
f.       UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
g.      UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkam bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya sepanjang tidak merugikan konsumen.
Dasar hukum perjanjian baku dalam jasa perparkiran diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 18 ayat (1) sepanjang tidak merugikan pengguna parker.



[1] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Cetakan Kedelapan 2006. Hal  49.
[2] Uti Ilmu Royen, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing, (Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009. Hal. 52.
[3] Ibid.
[4] http//www.artikata.com/artiperlindunganhukum.html (diakses tanggal 6 Juli 2014)
[5] Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.35.
[6] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal.17.
[7] Ahmadi Miru, Op.Cit, hal.21.
[8] Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2011, hal. 61-62
[9] A z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Daya Widya, 1999),  hal.13.
[10] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,  2009), hal.25.
[11] Ibid, hal.51.
[12] Ahmadi Miru. Op.Cit, hal. 180.
[13] Ibid
[14] N.H.T. Siahaan. Hukum Konsumen. Perlindungan konsumen dan tanggung jawab produk. Panta Rei. 2005. Hal 31-32.
[15] Ibid. Hal. 32
[16] R. Soesilo.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. (Bandung : Politeia, 2000). Hal.265.
[17] Lihat penjelasan Pasal 2, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[18] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 26.
[19] Ahmadi Miru, Op.Cit, hal.33.
[20] Ibid, hal.33.
[21] Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 35
[22] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 39
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid, hal.47.
[26] Ibid, hal. 49
[27] Ibid, hal. 50
[28] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 51
[29] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 54
[30] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Ibid, hal. 54
[31] Lihat Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 19.
[32] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 126
[33]  Ora Et Labora. (2011),  Hukum Perjanjian, http://oraetlabora-aiueo.blogspot.com/2011/02/5hukum-perjanjian.html (diakses tanggal 6 Juli 2014)
 


BAB III
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PARKIR
A.    Keabsahan Perjanjian Standar
Substansi KUH Perdata tidak mengatur kontrak standar, padahal kontrak standar di dalam dunia bisnis saat ini merupakan praktik transaksi sehari-hari. Pengaturan mengenai kontrak standar di Indonesia saat ini disandarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen[1], khususnya pada Pasal 1 butir 10 dan Pasal 18. Ada dua larangan, yaitu pertama, larangan pencantuman klausul baku pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi kualifikasi tertentu[2]. Kedua, larangan pencantuman klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Maksud dari pencantuman larangan di atas dapat kita ketahui dari rumusam penjelasan Pasal 18 yang menyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas kekuatan mengikat kontraktual mengandaikan adanya suatu kebebasan di dalam masyarakat untuk turut serta di dalam lalu lintas yuridikal dan sekaligus hal tersebut mengimplikasikan asas kebebasan berkontrak. Apabila di antara para pihak ditutup suatu perjanjian, akan diandaikan adanya kehendak bebas dari pihak-pihak tersebut. Di dalam konteks kebebasan kehendak juga terimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Dalam kenyataan, kesetaraan kekuatan ekonomi dari para pihak sering kali tidak ada. Sebaliknya, bila kesetaraan antara para pihak tidak dimungkinkan, tidak dapat dikatakan adanya kebebasan berkontrak. Mengenai keabsahan berlakunya perjanjian standar, Mariam Darus Badrulzaman[3] mengutip pendapat Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian standar bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha itu (yang berhadapan dengan konsumen) adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Sedangkan Pitlo menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract). Dalam barisan para sarjana hukum yang mendukung perjanjian standar antara lain adalah Stein, yang berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju dengan isi perjanjian itu. Asser-Rutten mengatakan pula bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian standar, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya. Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan “kebiasaan” (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan[4]. Sementara menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini, pendirian para ahli hukum di Amerika Serikat mengenai keabsahan perjanjian standar sangat dipengaruhi oleh putusan-putusan hakim atau pengadilan, mengingat di Amerika Serikat hukum perjanjian standar yang berlaku adalah common law, dimana menurut kesimpulan Whitman dan Gergacz para hakim di Amerika Serikat dalam beberapa perkara enggan untuk memberlakukan perjanjian-perjanjian yang menurut mereka merupakan perjanjian adhesi.[5] Corley dan Shedd menjelaskan tentang adanya perbedaan sikap dari pengadilan-pengadilan sebelum dan sesudah 1960-an.[6] Pada awalnya common law mengacuhkan kenyataan bahwa perjanjian standar dibuat oleh pihak-pihak yang tidak seimbang pengetahuan dan kedudukannya. Tindakan mengabaikan adanya ketidakseimbangan ini didasari oleh doktrin “caveat emptor”. Doktrin tersebut, yang secara harfiah berarti let the buyer beware, merupakan suatu doktrin yang mengatakan bahwa Pembeli menanggung resiko atas kondisi produk yang dibelinya. Artinya, Pembeli (konsumen) yang tidak ingin mengalami resiko harus berhati-hati sebelum membeli produk[7]. Pengadilan-pengadilan mengharapkan bahwa para Pembeli yang langsung bertransaksi dengan pemilik manufaktur hendaknya dapat menjaga diri mereka sendiri. Pengadilan-pengadilan jarang menolong seseorang yang menjadi korban suatu tawar-menawar yang buruk.[8] Namun sejak 1960-an sikap yang demikian ini telah ditinggalkan. Sejak waktu itu pengadilan mulai mengawasi penyalahgunaan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat sehubungan dengan dipakainya perjanjian standar tersebut. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan tersebut pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat menerapkan konsep atau doktrin baru yaitu doktrin unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada seorang hakim untuk mengesampingkan sebagian bahkan seluruh perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Dengan berlakunya asas-asas unconscionability tersebut, menurut Corley dan Shedd sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, suatu perjanjian standar tetap saja bukan tidak absah (not illegal) tetapi perlu diteliti sehubungan dengan keadilan dari perjanjian itu[9]. Praktik dunia usaha saat ini menunjukkan bahwa penggunaan perjanjian standar sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Sekalipun perjanjian standar sudah biasa dipergunakan, tetapi masih perlu dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat “berat sebelah” dan tidak mengandung “klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya”, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang menindas dan tidak adil. Yang dimaksudkan dengan sangat “berat sebelah” ialah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian standar tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajibankewajiban pihaknya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Terhadap praktik perjanjian (standar) yang demikian ini, sering menimbulkan pertanyaan, apakah perjanjian tersebut memiliki daya kerja mengikat para pihak kalau jelas-jelas substansi dari perjanjian memuat klausul yang berat sebelah. Untuk itu dalam melakukan penilaian apakah suatu perjanjian standar memiliki kekuatan mengikat para pihak atau tidak, perlu dimengerti aturan-aturan dasar atau ketentuan-ketentuan dalam perjanjian standar. Aturan dasar ini sangat penting dimengerti agar tercipta adanya kesamaan pemahaman yang akan membimbing para pelaku usaha menyususun kontrak bisnis untuk kepentingan usahanya berdasarkan aturan dasar yang berlaku tersebut. Di bawah ini akan diuraikan beberapa aturan dasar yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan kekuatan mengikan suatu perjanjian standar.
B.     Landasan Keterikatan
1.      Individu Sebagai Sumber
Suatu perbuatan hukum mendasarkan pada landasan kekuatan mengikatnya secara yuridikal dalam kehendak psikis yang dinyatakan oleh pihak yang melakukan tindakan tersebut.[10] Orang terikat pada kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya melalui kontrak dan seyogyanya memenuhi dan menaati apa yang telah disepakatinya itu. Di dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang seharusnya dapat mempercayai perkataan orang lain. Secara universal kita menemukan aturan yang berlaku di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa “janji menciptakan utang” (belofte maakt schuld)[11]. Jika ada dua pihak yang terlibat, seperti di dalam suatu perjanjian, landasan perbuatan hukum berganda ialah kehendak kedua belah pihak. Melalui kesepakatan yang dibuat manusia atau terjadinya perjumpaan kehendak terciptalah kekuatan mengikat yuridis. Dalam hal ini, Herlien Budiono mengutip pendapat Scholten mengatakan[12]: “adalah tepat bahwa kita dengan membuat suatu perjanjian mengikatkan diri, yakni jika kita menghendakinya, namun bukan karena (atau sebagai akibat) dari kehendak kita tersebut.” Keterikatan atau kekuatan mengikat yuridikal dalam suatu perjanjian timbul dari kesepakatan manusia satu sama lain. Maka pertanyaannya ialah apa yang sebenarnya menjadi landasan dari kekuatan mengikat secara yuridikal? Landasan disini[13] dapat dimengerti sebagai “sebab (oorzaak)” yang merujuk pada penjelasan perihal asal-muasal, ataupun dalam artian “dasar hokum (rechtsgrond)” yang menunjuk pada dasar pembenaran dari gejala dimaksud. Lebih lanjut, Herlien Budiono menjelaskan bahwa dalam konteks mencari landasan pembenar keterikatan hukum, Hijma telah membedakan antara landasan atau dasar dari perjanjian dan landasan dari kekuatan mengikat perjanjian. Dibuat pemilahan tegas antara “mengapa (waarom)” dari landasan pembenar dan “kapan (wanneer)” keterikatan kontraktual terjadi. Hubungan antara “mengapa” dan “kapan” dapat digambarkan sebagai berikut:
“pertama harus ditemukan alasan pembenarnya terlebih dahulu agar hal ini dapat diungkapkan ke dalam kriterium yang sepadan”[14]. Pandangan Scholten ialah bahwa perjanjianlah yang memunculkan atau menjadi sumber keterikatan:
“bahwa suatu janji mengikat tidak dapat dijelaskan terkecuali dari fakta bahwa hal itu adalah janji dan hukum telah memunculkan aturan berkenaan dengan hubungan antara individu dan masyarakat. Jadi juga antara individu satu sama lain di dalam masyarakat tertentu. Di antara individu tersebut muncul jalinan hubungan melalui kata-kata yang disampaikan satu terhadap lainnya. Keterikatan pada kata-kata yang terucap memiliki kekuatan sama sebagaimana halnya keterikatan pada suatu perintah yang diterbitkan oleh pihak yang berkuasa di dalam masyarakat[15].” Sebagai kriterium Scholten merujuk bukan pada tindakan atau perbuatan manusia, melainkan ia berupaya mengungkapkan apakah daya kerja kesepakatan antar manusia benar bermakna sebelum terjadinya keterikatan. Beranjak dari pandangan ini, maka individulah yang memunculkan keterikatan atau kekuatan mengikat[16].
2.      Hukum Objektif Sebagai Sumber
Pandangan lain yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalan menentukan landasan kekuatan mengikat perjanjian adalah apa yang dikutip oleh Herlien Budiono dari pernyataan Hijma :
“Keterikatan atau kekuatan mengikat tidak muncul dari kekuatan (daya kerja) suatu perilaku, tetapi atas dasar suatu norma yang sepadan dengan perilaku tersebut. Keterikatan dan jalinan sosial mengalir dari normanorma kemasyarakatan, keterikatan hukum (atau yudikal) dari keberlakuan suatu norma hukum,”.
Suatu norma adalah suatu aturan yang mengekspresikan fakta bahwa seseorang harus (ought) bertindak dengan cara tertentu, tanpa mengimplikasikan bahwa sungguh-sungguh menginginkan orang tersebut bertindak demikian[17]. Perbandingan antara “keharusan” suatu norma dan suatu perintah hanya dalam arti yang terbatas. Maka tidak ada perbedaan antara hukum yang dibuat oleh parlemen ataupun kontrak dua pihak. Namun sungguh tidak mungkin menyebut kontrak sebagai suatu perintah, karena dalam hal ini berarti pembuat perintah memerintahkan diri sendiri. Tetapi adalah mungkin bahwa suatu norma dibuat
oleh individu yang sama yang terikat dengan norma ini. Berdasarkan hal tersebut muncul keberatan bahwa sesungguhnya kontrak tidak mengikat para pihak. Adalah hukum negara yang mengikat para pihak untuk bertindak sesuai kontrak[18]. Namun kadang-kadang hukum memang berdekatan dengan kontrak. Hal ini merupakan esensi dari demokrasi bahwa hukum dibuat oleh individu yang juga terikat dengan hukum tersebut. Namun hukum yang dibuat dengan jalan demokrasi tidak dapat disebut sebagai perintah sebab tidak dibuat oleh individu tertentu yang berada di atas individu lain, tetapi dibuat oleh sesuatu yang impersonal, otoritas yang berbeda dari individu. Inilah otoritas hukum yang berada di atas individu yang diperintah dan memberi perintah. Ide ini menunjukkan bahwa kekuatan mengikat bukan berasal dari orang yang memerintah, tetapi dari perintah impersonal anonim yang diekspresikan dalam istilah “non sub homine, sed sub lege”. Perintah yang impersonal dan anonymus ini disebut dengan norma[19]. Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya bertindak sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksanaan norma. Hukum sebagai norma yang valid ditemukan pada ekspresinya dalam pernyataan bahwa orang harus bertindak dengan cara tertentu. Pernyataan ini tidak memberikan kita sesuatu tentang peristiwa sebenarnya. Keberlakuan hukum terdiri dari fakta bahwa orang menyesuaikan tindakannya sesuai dengan suatu norma. Sumber kekuatan mengikat di dalam hukum tidaklah muncul dari kehendak orang per orang yang berbuat, tetapi di dalam perbuatannya itu sendiri, sebagaimana ditempatkan di dalam konteks makna sosialnya,” demikian dikatakan Van Dunne[20]. Dijadikannya hukum objektif sebagai sumber normative perikatan-perikatan yang dibebankan pada manusia mengesankan seolah-olah hukum objektif semata-mata merupakan kumpulan aturan. Sumbernya ialah orang-orang yang berkuasa untuk menetapkan aturan memaksa tersebut dan sekaligus menetapkan upaya-upaya paksa dalam rangka memberlakukan dan memaksakan ditaatinya aturan-aturan tersebut. Namun, jika kita berhenti mengajukan pertanyaan dan puas dengan gambaran hukum objektif sebagai “keseluruhan aturan-aturan yang diperuntukkan bagi kehidupan bersama dan ditegakkan melalui paksaan”, segera kita sampai pada konstruksi bahwa dasar pembenaran dari fakta yang memunculkan perikatan adalah hukum objektif itu sendiri. Untuk itu kita dapat merujuk pada, misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang membuka kemungkinan bagi para pihak untuk memilih apakah kekuasaan negara hendak didayagunakan atau tidak. Undang-undang melalui ketentuan pasal di atas mengakui peran dan pengaruh individu pada bentukbentuk kenyataan sosial. Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bahwa undang-undang menciptakan fakta sosial tersebut[21].
3.      Individu dan Hukum Objektif Sebagai Sumber
Uraian di atas menunjukkan bahwa dua sumber kekuatan mengikat saling berhadapan satu sama lain, yang satu menekankan pada kekuatan normative kehendak dari individu, sedangkan yang lain bersumber pada hukum objektif. Dari semula harus disadari bahwa pilihannya tidak hanya di antara kedua ajaran itu saja. Alternatif lain dapat kita temukan di dalam keragaman tata nilai (waardeoordelen). Untuk menjawab persoalan ini, kita dapat meminta bantuan ilmu pengetahuan hukum (wetenschap-van-het-recht). Hak milik adat, sebagaimana telah disebut, merupakan bentuk penguasaan tertinggi yang mungkin dimiliki individu terhadap kebendaan tertentu di dalam masyarakat adat. Hak milik adat muncul dari hukum komunal dan sebagai fungsinya ialah individualisasi dari kekuasaan komunal. Fungsi individualisasi tersebut tidaklah dibatasi oleh hak ulayat (hak komunal), tetapi fungsi ini tercipta dan terus ada karena adanya hak ulayat. Cara pandang bangsa Indonesia yang menempatkan kepentingan individu dengan kepentingan bersama dalam keselarasan dan keseimbangan, tanpa mendahulukan satu dari lainnya, ialah satu norma[22]. Relasi khusus yang tercipta antara individu dan masyarakat dan yang menemukan bentuknya beranjak dari pengertian (konsep) kekeluargaan, gotong royong, dan tolong- menolong merupakan suatu fakta dalam kehidupan kemasyarakatan Indonesia. Fakta ini yang menjadi landasan bagi penerimaan kekuatan mengikat (kontraktual) merupakan batu uji masyarakat hukum Indonesia dan dipergunakan dalam hal penutupan kontrak. Hijma berpendapat bahwa jika pertimbangan pertama untuk menjawab pertanyaan siapa atau apa yang menyebabkan terciptanya kekuatan mengikat (wie of wat de gebondenheid doet intreden) atau landasan pijak dari keterikatan (waarop “gebondenheid” berust)[23], terbuka kemungkinan bahwa manusia sendiri dan juga hukum objektif yang menjadi faktor-faktor penentu. Dapat juga keterikatan atau kekuatan mengikat ini diargumentasikan secara lain: kekuatan mengikat tercipta beranjak dari kesepakatan melalui daya kerja hukum objektif. Ini berarti bahwa pada satu pihak, kesepakatan itu sendiri yang menyebabkan keterikatan atau menjadi sumber kekuatan mengikat, dan pada lain pihak, bahwa daya kerja hukum objektif yang menciptakan keterikatan[24]. Jawaban atas pertanyaan, apa yang menjadi landasan pijak atau sumber dari “keterikatan/kekuatan mengikat” menurut asas keterikatan kontraktual Indonesia, diberikan oleh relasi antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum yang seimbang, hal itu dapat ditemukan kembali di dalam asas keseimbangan (evenwichtsbeginsel)[25].
C.    Tolak Ukur Menurut Hukum Perjanjian Indonesia
Masalah utama mengenai dimuatnya klausul-klausul yang memberatkan di dalam suatu perjanjian standar ialah keabsahan dari klausul-klausul yang memberatkan itu. Dengan kata lain, sampai sejauh mana keterikatan para pihak terhadap klausul-klausul tersebut. Apakah dengan dicantumkannya suatu klausul yang memberatkan, misalnya yang merupakan klausul eksemsi, dalam suatu perjanjian standar atau dengan dinyatakannya oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain bahwa untuk hubungan hukum di antara mereka berlaku klausul yang bersangkutan, maka pihak yang lain dengan sendirinya sudah terikat terhadap klausul tersebut dan terhadap klausul itu tidak lagi ada tantangan-tantangan yuridis?
Di Indonesia belum ada ketentuan undang-undang maupun yurisprudensi yang secara spesifik memberikan aturan-aturan dasar yang harus diperhatikan apabila sesuatu pihak dalam suatu perjanjian menghendaki agar suatu klausul yang memberatkan dalam perjanjian standar berlaku bagi hubungan hukum antara pihaknya dengan mitra janjinya[26]. Hingga saat ini, undang-undang baru memberikan pengaturan sebatas pencantuman klausul baku yang diperbolehkan dalam perjanjian, yaitu melalui ketentuan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Para Hakim di Inggris dan Amerika Serikat melalui berbagai yurisprudensi telah membuat beberapa aturan dasar yang harus dipenuhi agar klausul di dalam perjanjian standar yang memberatkan berlaku dan mengikat. Dengan kata lain, apabila aturan dasar itu tidak dipenuhi, maka hakim akan memutuskan bahwa klausul itu tidak dapat diterima sebagai bagian dari perjanjian, dan karena itu para pihak tidak terikat oleh klausul tersebut[27].
Untuk dapat memahami bagaimana kekuatan mengikat dari suatu perjanjian yang substansinya terdapat klausul baku yang memberatkan salah satu pihak menurut hukum perjanjian Indonesia, maka akan diuraikan bahasan sebagaimana di bawah ini:
1.      Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sehubungan dengan pengaturan di dalam undang-undang mengenai klausul baku, penulis kemukakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab V mengenai Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, yang secara lengkapnya menyatakan:
”(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini”.
Yang menarik adalah ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, yang menyatakan bahwa setiap klausula baku yang memuat hal-hal yang disebut dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum. Klausula baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
”Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Jika kita baca ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat kita lihat bahwa pada dasarnya pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku tidak membatalkan (demi hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausula baku tersebut, melainkan hanya membatalkan (demi hukum) klausula baku tersebut. Jika kita perhatikan ketentuan mengenai klausula baku yang diatur dan dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut jelas merupakan bersifat membatasi atau mengurangi prestasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini merupakan ketentuan yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata yang merupakan lex generalis-nya[28]. Dengan demikian berarti semua perjanjian yang mengandung causa atau sebab yang terlarang yang terwujud dalam bentuk prestasi yang tidak diperkenankan untuk dilakukan menurut hukum, kesusilaan dan ketertiban umum, meskipun ia memuat atau tidak memuat klausula baku seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan tetap batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki daya ikat, dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada debitor melalui mekanisme hukum yang berlaku.
2.      Pengaturan dalam KUH Perdata
Substansi KUH Perdata belum memuat ketentuan yang mengatur tentang klausul baku dalam perjanjian. Salah satu aspek dari perjanjian yang dapat kita temukan pengaturannya dalam substansi KUH Perdata adalah asas-asas yang berlaku dalam suatu perjanjian. Baik asas kebebasan maupun asas kekuatan mengikat dalam berkontrak dapat ditemukan landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”.
Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata kita temukan pengungkapan dari asas kekuatan mengikat:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undangundang.”
Asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakan kembali. Janji dari kata-kata yang diucapkan sifatnya mengikat. Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan ruang lingkup serta cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Perjanjian memunculkan akibat hukum dan berlaku bagi para pihak seolah undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri, Herlien Budiono mengutip pendapat Fried menyatakan bahwa landasan kekuatan mengikat perjanjian ada pada moral[29]:
“Legal obligation can be imposed only by the community, and so imposing it the community must be pursuing its goals and improsing its standardards, rather than neutrally endorsing those of the contracting parties,”
Lebih lanjut Herlien Budiono menjelaskan:
Kata-kata itu sendiri tidak mengikat, namun yang mengikat ialah katakata yang ditujukan kepada pihak lainnya; saya harus membayar, bukan karena saya menghendakinya, tetapi karena saya telah berjanji untuk melakukan hal itu, yakni dalam artian saya telah menyatakan kehendak (untuk membayar) tersebut kepada pihak lain.[30]
Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, terkecuali bahwa kontrak memang mengikat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undangundang karena undang-undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang-undang[31]. Undang-undang sebagai suatu aturan hukum adalah perintah yang mengikat karena dibuat oleh otoritas yang kompeten. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal itu sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran (benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, “kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akal-budi alamiah”[32]. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang telah disebutkan di atas selanjutnya dimengerti dalam artian bahwa sebenarnya setiap orang dan sesame orang lain dapat bertindak seolah pembuat undang-undang dengan menggunakan perjanjian. Sebab itu pula, perjanjian dianggap sebagai sumber hukum disamping undang-undang, karena setiap perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang. Hal ini berarti, tiada kurang maupun lebih, bahwa setiap orang dengan caranya sendiri, dengan membuat perjanjian, dapat bertindak selaku pembuat undang-undang di dalam lingkup hukum keperdataan (privat), yang mengatur perilaku antara sesama orang tersebut.
3.      Kekuatan Mengikat dari Klausul Baku yang Memberatkan Pengguna Parkir
Sekarang kita tiba pada masalah legitimasi (pembenaran hukum) dari daya mengikat klausul baku yang memberatkan Pengguna Parkir yang sebenarnya secara dasar menyangkut masalah kekuatan mengikat kontrak. Dengan kata lain, apa yang harus kita anggap penting dalam melakukan pembentukan dan penafsiran dari aturan-aturan yang mengatur keberlakuan kontrak.
Daya mengikat kontrak beranjak dari BW-Belanda (lama) yang pada saat ini telah diperbarui dan diundangkan (pada tahun 1992) dilegitimasi atas dasar pertimbangan bahwa hal tersebut dilandaskan pada kesepakatan para pihak terkait[33]. Namun demikian di dalam ketentuan Pasal 1321 s.d Pasal 1328 KUH Perdata, tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kesepakatan tersebut, bahkan mengenai cara bagaimana kesepakatan tersebut harus terwujud juga tidak dijelaskan, hanya disebutkan kondisi-kondisi yang membuat perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hukum mengakui otonomi individu dalam kebebasan penuh untuk membuat kontrak; dengan siapa ia hendak membuat kontrak, dan juga kebebasannya untuk menentukan sendiri muatan isi kontrak. Kebebasan berkontrak akan dibatasi bila pelaksanaan kebebasan berkontrak dalam situasi konkret ternyata bertentangan dengan kepentingan dalam tataran yang lebih tinggi. Pada umumnya, undang-undang memandang penting prinsip kebebasan untuk melakukan perbuatan. Tidaklah selamanya mudah untuk menetapkan apakah suatu ketentuan bersifat memaksa atau sekadar mengatur dan melengkapi. Dalam rangka itu, maka harus diperhatikan terutama maksud pembuat undang-undang serta maksud dan tujuan kontrak.



[1] Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Cet. 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 117.
[2] Lihat ketentuan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[3] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2009), hal. 77.
[4] Ibid. hal. 78.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 4.
[8] Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. hal. 79.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. hal. 79.
[10] Herlien Budiono, Op. Cit. hal. 297.
[11] Ibid. hal. 375.
[12] Ibid. hal. 297.
[13]. Lihat Herlien budiono, Ibid. hal. 298.

[14] dikatakan Hijma dalam Herlien Budiono, ibid.
[15] Ibid
[16] Menurut Hijma, Scholten tidak berupaya mencari ratio (pembenaran) dari keterikatan yang dimunculkan hukum, namun justru cara bagaimana keterikatan tersebut muncul sebagaimana adanya. Herlien Budiono, Loc. Cit. hal. 299.
[17] Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: konstitusi Press, 2006), hal. 39.
[18] Ibid. hal. 40
[19] Ibid.
[20] Herlien Budiono, Op. Cit. hal. 301.
[21] Ibid. hal. 302.
[22] Ibid. hal. 303.
[23] Ibid.
[24]Herlien Budiono, Ibid, hal. 304.
[25] Ibid.
[26] Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 87.
[27] Ibid. hal. 88.
[28] Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 53.
[29] Helien Budiono, Op. Cit, hal. 101. Periksa juga P. S Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract, (Oxford, Oxford University press, 1979), hal. 168.
[30] Ibid.
[31]Periksa Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: konstitusi Press, 2006), hal. 36.
[32] Herlien Budiono, Loc. Cit, hal. 101.
[33] Herlien Budiono, Op. Cit, hal. 4.


BAB IV
PERTIMBANGAN HAKIM MEMBEBANKAN RISIKO KEHILANGAN KENDARAAN BERMOTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR : 2157K/PDT/2010

A.    Tingkat Pengadilan Negeri Samarinda – Putusan No. 03/Pdt .G/2009/PN.Smda
1.      Kronologis
PENGGUGAT I:
Penggugat I adalah pemilik dari kendaraan bermotor roda 2 (sepeda motor) dengan nomor polisi awal sesuai STNK sementara KT-3805-XB Jenis Suzuki FU 150 (CKD) Lembar Formulir Buku Tanda Coba KendaraanNo. 007877 H/KT/2008, selanjutnya sesuai STNK No. 0114371/KT/2008 nomor polisi berubah menjadi KT.3646 NP, Nama Pemilik: Ramadhan M, alamat Jalan Elang No. 68, RT 81, Kelurahan Supida Samarinda, Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/SPD. Motor, Tahun pembuatan: 2008, Tahun perakitan: 2008, Isi Selinder 150 CC, Warna: Hitam Abu-Abu, Nomor Rangka/NK: MH8BG41CA8J-199742, Nomor mesin: G420-ID-199311, Warna TNKB: Hitam, Bahan bakar: bensin, No. Urut Pendaft: 397/24.07.2008/B;
Pada tanggal 24 Agustus 2008 sekitar jam 18.00 wita Penggugat I berkunjung ke Mall Lembuswana yang beralamat di Jalan S. Parman – M. Yamin Samarinda untuk belanja dan sebelum memasuki kawasan Mall Lembuswana Penggugat I membayar karcis parkir sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan mendapatkan karcis parkir dengan nomor seri E: 736073 dan selanjutnya Penggugat I masuk kedalam kawasan perparkiran Mall Lembuswana dan kemudian Penggugat I memarkirkan sepeda motor di tempat yang telah disediakan;
Setelah memarkirkan sepeda motor Penggugat I kemudian memasuki Mall Lembuswana untuk berbelanja sampai dengan sekitar jam 20.00 wita Penggugat I keluar dan menuju tempat parkir untuk mengambil motor, namun motor Penggugat I ternyata tidak ada di tempat parkir. Akhirnya Penggugat I keliling tempat parkir untuk mencarinya dan menanyakan ke petugas parkir Mall Lembuswana, namun motor tidak ditemukan atau hilang;
Setelah mengetahui motor hilang, Penggugat I melaporkan kehilangan kepada pengelola parkir Mall Lembuswana, dalam hal ini Tergugat (PT. Cipta Sumina Indah Satresna) dan meminta pertanggung jawaban Tergugat untuk mengganti motor Penggugat I, namun Tergugat menolaknya;
Selanjutnya Penggugat I pada tanggal 25 Agustus 2008 menyampaikan pengaduan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Kaltim dan selanjutnya Lembaga Perlindungan Konsumen Kaltim mengirim surat kepada Tergugat sebagaimana suratnya tertanggal 10 September 2008, No. 31/LPK-KT/U/IX/2008, perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan Konsumen;
Selanjutnya Tergugat menanggapi melalui suratnya No. 688/Wkl.GM-CSIS/SMD/IX/2008 yang berisi:
-        Sehubungan dengan surat No. 31/LPK-KT/U/IX/2008 perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan Konsumen tertanggal 10 September 2008, dengan ini kami menyampaikan dan memberi penjelasan mengenai perparkiran di area Mall Lembuswana;
-        Retribusi kendaraan bermotor roda dua untuk parkir di area/kawasan Mall Lembuswana sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) hanya untuk pemakaian lahan parkir;
-        Ketentuan yang dilakukan oleh pihak pengelola (Management) yang tertera pada karcis retribusi parkir sebagai ketentuan/syarat memasuki kawasan perparkiran;
-        Pada saat pengunjung/konsumen telah menyetujui ketentuan yang tertera di karcis retribusi tersebut dan segala kehilangan dan kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya adalah resiko sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun) dan bukan tanggung jawab pengelola;
-        Pemeriksaan STNK di pintu keluar untuk meminimalkan pencurian kendaraan bermotor roda dua di areal/kawasan Mall Lembuswana;
Atas kehilangan motor Penggugat I di parkir Mall Lembuswana, Penggugat I menyampaikan laporan kehilangan ke Poltabes Samarinda sebagaimana Surat Tanda Penerimaan Laporan No. Pol: K/1823/VIII/2008 SPK tertanggal 24 Agustus 2008;
Atas kehilangan motor Penggugat I di Mall Lembuswana Penggugat I menderita kerugian sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) seharga sepeda motor yang hilang dan sejak tanggal 1 September 2008 hingga sekarang keperluan sehari-hari sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
PENGGUGAT II:
Penggugat II adalah pemilik dari kendaraan bermotor roda 2 (sepeda motor) dengan nomor polisi KT-3639 NL, Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD MTR/SPD. Motor R2, Tahun pembuatan: 2007, Tahun rakitan: 2007, Isi silinder: 150 CC, Warna: Abu-Abu Hitam, Nomor Rangka/NK: MH 8BG41CA7J-163495, Nomor mesin: G420-ID-163711, Warna TNKB: Hitam, Bahan bakar: bensin, No. Urut Pendaft: 610/24.01.2008/B;
Pada tanggal 6 Juli sekitar jam 19.00-20.00 wita Penggugat II berkunjung ke Mall Lembuswana di Jalan S. Parman – M. Yamin Samarinda untuk belanja dan sebelum memasuki kawasan Mall Lembuswana Penggugat II membayar karcis parkir sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan mendapatklan karcis parkir dengan nomor seri E: 392691 dan selanjutnya Penggugat II masuk kedalam kawasan perparkiran Mall Lembuswana dan kemudian Penggugat II memarkirkan sepeda motor di tempat yang telah disediakan;
Setelah memarkirkan sepeda motor Penggugat II kemudian memasuki Mall Lembuswana untuk berbelanja sampai dengan sekitar jam 20.00 wita Penggugat II keluar dan menuju tempat parkir untuk mengambil motor, namun motor Penggugat II ternyata tidak ada di tempat parkir. Akhirnya Penggugat II keliling tempat parkir untuk mencarinya dan menanyakan ke petugas parkir Mall Lembuswana, namun motor tidak ditemukan atau hilang;
Setelah mengetahui motor hilang, Penggugat II melaporkan kehilangan kepada pengelola parkir Mall Lembuswana, dalam hal ini Tergugat (PT. Cipta Sumina Indah Satresna) dan meminta pertanggung jawaban Tergugat untuk mengganti motor Penggugat II, namun Tergugat menolaknya;
Selanjutnya Penggugat II pada tanggal 1 September 2008 menyampaikan pengaduan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Kaltim dan selanjutnya Lembaga Perlindungan Konsumen Kaltim mengirim surat kepada Tergugat sebagaimana suratnya tertanggal 10 September 2008, No. 31/LPK-KT/U/IX/2008, perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan Konsumen;
Selanjutnya Tergugat menanggapi melalui suratnya No. 688/Wkl.GM-CSIS/SMD/IX/2008 yang berisi:
-        Sehubungan dengan surat No. 31/LPK-KT/U/IX/2008 perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan Konsumen tertanggal 10 September 2008, dengan ini kami menyampaikan dan memberi penjelasan mengenai perparkiran di area Mall Lembuswana;
-        Retribusi kendaraan bermotor roda dua untuk parkir di area/kawasan Mall Lembuswana sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) hanya untuk pemakaian lahan parkir;
-        Ketentuan yang dilakukan oleh pihak pengelola (Management) yang tertera pada karcis retribusi parkir sebagai ketentuan/syarat memasuki kawasan perparkiran;
-        Pada saat pengunjung/konsumen telah menyetujui ketentuan yang tertera di karcis retribusi tersebut dan segala kehilangan dan kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya adalah resiko sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun) dan bukan tanggung jawab pengelola;
-        Pemeriksaan STNK di pintu keluar untuk meminimalkan pencurian kendaraan bermotor roda dua di areal/kawasan Mall Lembuswana;
Atas kehilangan motor Penggugat II di parker Mall Lembuswana, Penggugat II menyampaikan laporan kehilangan ke Polsekta Samarinda Ulu sebagaimana Surat Tanda Penerimaan Laporan No. Pol: K/84/2008/Sek Ulu tertanggal 6 Juli 2008;
Atas kehilangan motor Penggugat II di Mall Lembuswana Penggugat II menderita kerugian sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) seharga sepeda motor yang hilang dan sejak tanggal 1 Agustusr 2008 hingga sekarang Penggugat II terpaksa menyewa motor untuk menunjang keperluan sehari-hari sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
2.      Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda
Pertimbangan Pengadilan Negeri Samarinda
a)      Bahwa hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat adalah hubungan antara konsumen dan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
b)      Bahwa Penggugat I dan Penggugat II adalah konsumen yaitu sebagai orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
c)      Bahwa Tergugat adalah pelaku usaha yaitu badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama malalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;
d)     Bahwa kegiatan usaha yang diselenggarakan Tergugat adalah sebagai pengelola dan penyedia jasa parkir di Mall Lembuswana. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen;
e)      Bahwa Penggugat I dan Penggugat II sebagai konsumen pengguna jasa parkir Mall Lembuswana telah memenuhi kewajiban membayar biaya parkir sebesar
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sesuai dengan retribusi parkir yang ditetapkan Tergugat (Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), oleh karenanya mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa parkir Mall Lembuswana (Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
f)       Bahwa dengan hilangnya sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II saat diparkir di parkiran Mall Lembuswana jelas menunjukkan pengabaian terhadap hak atas keamanan sepeda motor yang di parkir di Mall Lembuswana. Tergugat telah lalai menjaga keamanan sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II hingga sepeda motor tersebut hilang;
g)      Bahwa pengabaian hak atas keamanan oleh Tergugat terhadap sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II saat diparkir di Mall Lembuswana hingga menyebabkan hilang, jelas merupakan perbuatan melawan hukum yaitu tidak terpenuhinya Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
h)      Bahwa sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat, Penggugat I dan Penggugat II menderita kerugian;
i)        Bahwa kerugian materiil Penggugat I adalah hilangnya sebuah sepeda motor Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/SPD.Motor, Tahun pembuatan: 2008, Tahun perakitan: 2008, Isi silinder: 150 CC, Warna: Hitam abu-abu, seharga Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
j)        Bahwa kerugian materiil Penggugat II adalah hilangnya sebuah sepeda motor KT 3639 NL, Merk/Type: Suzuki/FU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/S.Motor R2, Tahun pembuatan: 2007, Tahun perakitan: 2007, Isi silinder: 150 CC, Warna: Abu-abu hitam, Nomor Rangka/NK: MH8BG41CA7J-163495, Nomor Mesin: G420-ID-163711, Warna TNKB: Hitam, Bahan bakar: Bensin, seharga Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
3.      Putusan Pengadilan Negeri Samarinda
Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan No. 03/Pdt .G/2009/PN.Smda Menolak seluruh Eksepsi yang diajukan Tergugat dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, yaitu:
a)      Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan segala akibat hukum yang timbul dari padanya;
b)      Menghukum Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat I sebesar Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
c)      Menghukum Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat II sebesar Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
d)     Menghukum Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini, yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 291.000,- (dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
e)      Menolak gugatan Penggugat I dan II untuk selebihnya;

B.     Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Samarinda - Putusan No. 122/Pdt/2009/PT.Smda
Tergugat melakukan permohonan banding atas putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pdt .G/2009/PN.Smda, Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Samarinda dengan Putusan No. 122/Pdt/2009/PT.Smda tanggal 11 Januari 2010.

C.    Tingkat Kasasi Mahkamah Agung – Putusan No. 2157 K/Pdt/2010
1.      Pertimbangan Mahkamah Agung
Setelah Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda No. 122/Pdt/2009/PT.Smda, kemudian Tegugat dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kausa khusus tanggal 19 Maret 2010 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 2 Maret 2010, sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No. 03/Pdt.G/2009/PN.Smda, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Samarinda, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 8 Maret 2010;
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
a)      Bahwa judex facti telah salah dalam menerapkan hukum, karena dalam pertimbangan hukumnya telah mencampur adukkan antara konsep perbuatan melawan hukum dan konsep wanprestasi, padahal dalil gugatan para Penggugat adalah hubungan hukum antara para Penggugat dengan Tergugat adalah merupakan hubungan kontrak standar atau kontrak baku yang secara tertulis dan yuridis diakui eksistensinya dalam hukum positif di Indonesia, yang salah satu ketentuan yuridis normatif berkaitan dengan kontrak standar atau kontrak baku diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menentukan di dalam Pasal 1 angka 10 yang berbunyi: "Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen;
b)      bahwa judex facti secara tersurat telah mempertimbangkan tentang kontrak standar atau kontrak baku, dimana majelis Hakim mempertimbangkan klausula yang terdapat pada karcis E: 392691 dan E: 736073 yang menyatakan: "Tergugat tidak bertanggung jawab atas hilangnya kendaraan bermotor dari pengguna parkir", menurut hemat Majelis Hakim haruslah ditafsirkan bahwa klausula tersebut diberlakukan sepanjang tidak ada kelalaian dari pihak pengelola parkir. Pertimbangan tersebut keliru, karena Majelis Hakim telah menafsirkan klausula kontrak standar atau kontrak baku tersebut bahwa klausula dalam karcis parkir tersebut bunyinya adalah sangat jelas sekali. Menurut ketentuan Pasal 1342 BW, jika kata-kata suatu perjanjian jelas tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran. Bahwa ketentuan Pasal 1342 BW tersebut sangat sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang pentingnya konsumen dimana ditentukan klausula-klausula tersebut sifatnya mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Majelis Hakim yang menguatkan klausula tersebut haruslah ditafsirkan diberlakukan sepanjang tidak ada kelalaian dari pihak pengelola parkir merupakan tindakan yang salah dan keliru dalam menerapkan hukum Pasal 1342 BW dan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999;
c)      Bahwa judex facti dalam putusannya halaman 23 alinea 2 telah mempertimbangkan bahwa Tergugat tidak sepenuhnya atau lalai menjalankan kewajibannya, maka hal ini sudah masuk dalam pertimbangan tentang wanprestasi. Pernyataan lalai dan kelalaian jelas merupakan ranah dari wanprestasi;
d)     Bahwa judex facti dalam putusannya halaman 23 alinea 1 telah mempertimbangkan ketentuan Pasal 4 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, akan tetapi ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak dilaksanakan, padahal secara jelas ditentukan klausula dalam perjanjian baku mempunyai sifat mengikat dan wajib dipenuhi;
Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah dalam menerapkan hokum.
Terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung amar putusan Pengadilan Tinggi Samarinda yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda harus diperbaiki sepanjang mengenai besarnya ganti kerugian dengan pertimbangan sebagai berikut:
-        Bahwa telah terbukti Tergugat lalai dalam menjalankan usahanya yang merugikan orang lain, oleh karena itu harus dihukum untuk membayar ganti rugi seharga barang yang hilang;
-        Bahwa adapun Tergugat rugi biaya dan waktu adalah merupakan akibat dari kelalaiannya sendiri, sehingga tidak dapat dibebankan kepada para Penggugat;
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. CIPTA SUMINA INDAH SATRESNA tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Samarinda No. 122/Pdt/2009/PT.Smda tanggal 11 Januari 2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pdt.G/2009/PN.Smda tanggal 15 Juni 2009.
2.      Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dalam putusan No. 2157K/PDT/2010 Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. CIPTA SUMINA INDAH SATRESNA, Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Samarinda No. 122/Pdt/2009/PT.Smda tanggal 11 Januari 2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pdt.G/2009/PN.Smda tanggal 15 Juni 2009, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
-        Menolak eksepsi dari Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA:
a)      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
b)      Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan segala akibat hukum yang timbul dari padanya;
c)      Menghukum Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat I sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
d)     Menghukum Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat II sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
e)      Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp. 291.000,- (dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
f)       Menolak gugatan Penggugat I dan II untuk selain dan selebihnya;
-          Menghukum Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah);
-          Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah);



BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pada prinsipnya, dasar hukum suatu perjanjian seperti dinyatakan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan Para pihak yang memiliki sepakat akan memberikan persetujuan dan penundukannya pada semua klasula yang ternyata dalam perjanjian dalam bentuk pembubuhan tanda tangan.
Dasar hukum perjanjian baku dalam jasa perparkiran diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 18 ayat (1), Dalam perjanjian parkir yang memakai klausula baku seperti yang tercantum dalam karcis retribusi parkir PT. CIPTA SUMINA INDAH SATRESNA “segala kehilangan dan barang-barang di dalamnya adalah resiko sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun) dan bukan tanggung jawab pengelola” Klausula seperti ini adalah klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Peraturan perundang-undangan tidak secara langsung menyatakan pelarangan untuk melakukan pembuatan perjanjian baku. Pelarangan yang ditegaskan adalah pada klasula baku yang dapat menempatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha pada kedudukan yang tidak setara, seperti dalam perjanjian parkir pada umumnya merugikan konsumen parkir.
2.      Klausula baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
”Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku tidak membatalkan (demi hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausula baku tersebut, melainkan hanya membatalkan (demi hukum) klausula baku tersebut. ketentuan mengenai klausula baku yang diatur dan dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut jelas merupakan bersifat membatasi atau mengurangi prestasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini merupakan ketentuan yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata yang merupakan lex generalis-nya. Dengan demikian berarti semua perjanjian parkir yang mengandung causa atau sebab yang terlarang yang terwujud dalam bentuk prestasi yang tidak diperkenankan untuk dilakukan menurut hukum, kesusilaan dan ketertiban umum, meskipun ia memuat atau tidak memuat klausula baku seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan tetap batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian parkir tersebut tidak memiliki daya ikat, dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada pengguna parkir melalui mekanisme hukum yang berlaku.
3.      Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung melalui amar putusan Pengadilan Tinggi Samarinda yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda, yang diperbaiki mengenai besarnya ganti kerugian dengan pertimbangannya adalah sebagai berikut:
a)      Bahwa hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat adalah hubungan antara konsumen dan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
b)      Bahwa Penggugat I dan Penggugat II adalah konsumen yaitu sebagai orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
c)      Bahwa Tergugat adalah pelaku usaha yaitu badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama malalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;
d)     Bahwa kegiatan usaha yang diselenggarakan Tergugat adalah sebagai pengelola dan penyedia jasa parkir di Mall Lembuswana. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen;
e)      Bahwa Penggugat I dan Penggugat II sebagai konsumen pengguna jasa parkir Mall Lembuswana telah memenuhi kewajiban membayar biaya parkir sebesar
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sesuai dengan retribusi parkir yang ditetapkan Tergugat (Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), oleh karenanya mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa parkir Mall Lembuswana (Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
f)       Bahwa dengan hilangnya sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II saat diparkir di parkiran Mall Lembuswana jelas menunjukkan pengabaian terhadap hak atas keamanan sepeda motor yang di parkir di Mall Lembuswana. Tergugat telah lalai menjaga keamanan sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II hingga sepeda motor tersebut hilang;
g)      Bahwa pengabaian hak atas keamanan oleh Tergugat terhadap sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II saat diparkir di Mall Lembuswana hingga menyebabkan hilang, jelas merupakan perbuatan melawan hukum yaitu tidak terpenuhinya Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
h)      Bahwa sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat, Penggugat I dan Penggugat II menderita kerugian;
i)        Bahwa kerugian materiil Penggugat I adalah hilangnya sebuah sepeda motor Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/SPD.Motor, Tahun pembuatan: 2008, Tahun perakitan: 2008, Isi silinder: 150 CC, Warna: Hitam abu-abu, seharga Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
j)        Bahwa kerugian materiil Penggugat II adalah hilangnya sebuah sepeda motor KT 3639 NL, Merk/Type: Suzuki/FU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/S.Motor R2, Tahun pembuatan: 2007, Tahun perakitan: 2007, Isi silinder: 150 CC, Warna: Abu-abu hitam, Nomor Rangka/NK: MH8BG41CA7J-163495, Nomor Mesin: G420-ID-163711, Warna TNKB: Hitam, Bahan bakar: Bensin, seharga Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
B.     SARAN
1.      Perlu adanya sosialisasi yang lebih terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, terutama memberi pengetahuan yang cukup kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya sebagai pengguna jasa parkir. Dengan mengetahui hak dan kewajibannya konsumen dapat melakukan pilihan yang tepat terutama apabila terjadi kehilangan kendaraan bermotor. Konsumen dapat menentukan sikapnya sesuai dengan apa yang dikehendaki atau menjadi tujuan dari Undang-undang Perlindungan Konsumen.
2.      Perlu adanya sosialisasi oleh pemerintah kepada pengelola parkir mengenai larangan penggunaan klausula baku dalam karcis parkir yang sangat berpotensi merugikan konsumen, dalam karcis parkir sebaiknya dicantumkan pula hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usahanya, sehingga kedua belah pihak dapat saling memahami hak dan kewajibannya masing-masing.
Pencantuman klausula baku dalam retribusi parkir kendaraan hendaknya mempertimbangkan prinsip keseimbangan dan kesetaraan dalam sebuah perjanjian.
3.      Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010 yang menghukum Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat I dan Penggugat II masing-masing sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah), putusan tersebut telah sesuai dengan dengan rasa keadilan yang ada, dimana pengguna parkir juga adalah bagian dari masyarakat luas yang sangat membutuhkan pelayanan parkir yang profesional.

Demikian tulisan ini saya buat dengan harapan saya, dan semua para pembaca yang juga sebagai pengguna jasa parkir dimanapun kita berada hendaknya tahu akan hak kita dan tahu tindakan-tindakan yang harus kita lakukan ketika kehilangan kendaraan bermotor di parkiran, masih banyak lagi putusan-putusan sejenis yang dimenangkan pengguna jasa parkir. semoga dapat menambah kasanah tulisan yg membantu masyarakat di bidang parkir, salam konsumen cerdas :)