KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
skripsi ini, penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarja Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Darma
Agung. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak
Mhd.Taufiq, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung
2.
Bapak
Syawal A.Siregar, SH, SpN.MM Selaku Dosen Wali
3.
Bapak
Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Elfrida Aryani Lubis, SH, MH selaku
dosen pembimbing saya yang telah membantu dan membimbing saya memberikan
petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.
4.
Seluruh
Dosen pengajar, pelaksana administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Universitas
Darma Agung yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama
menjalani perkuliahan.
5.
Seluruh
rekan-rekan penulis angkatan stambuk 2010 kelas sore, anes, rendi, boyke,
linda, abi, genius, ester, marla, andre, serta rekan-rekan lainnya yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
6.
Seluruh
rekan-rekan penulis di DPC Permahi Medan, Abangda Andreas, Marzuki, Riswanto,
Petrus, Lasman, Edyson, Jonathan, Ridho, Hikler, Husein, Natalia, Synta, Lidya,
Cindy, Imelda, Dyah, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang sangat luar biasa memberikan bantuan dan juga semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.
Bapak
Suhendro Saputra, S.H., M.kn., selaku Notaris di kantor dimana penulis magang,
serta rekan-rekan penulis di kantor Notaris Suhendro Saputra, S.H., M.kn., Kak
Rintus dan Steven.
8.
Teman-Teman
Karateka Inkanas Sumut Sabuk Hitam terutama Restu dan Fadhil.
Selanjutnya penulis persembahkan apa
yang penulis hasilkan khusus kepada kedua orang tua, Robin dan Mariati Saragih,
Terima kasih yang tidak terhingga atas segala pengorbanan dan kasih sayang
dalam merawat, membesarkan dan mendidik serta membimbing penulis agar menjadi
orang yang berguna.
Dan juga kepada kedua kakak
tercinta, Widya Salina, Amd dan Wijuni Salim Amd serta adik saya tercinta,
Achi, terima kasih atas kasih sayang dan semangatnya kepada penulis.
Akhirnya, dengan segala kerendahan
hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan,
sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritikyang bersifat membangun
demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, September 2014
Penulis,
JOKO PRABOWO
NPM : 10.021.111.147
NPM : 10.021.111.147
1.
Nama : JOKO PRABOWO
2.
NPM : 10.021.111.147
3.
Jurusan : HUKUM PERDATA
4.
Program Studi : ILMU HUKUM
5.
Judul Skripsi : “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN OLEH PENGELOLA
PERPARKIRAN SWASTA (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010).”
6.
Tanggal Ujian :
..............................................
7.
Waktu Ujian :
..............................................
8.
Tempat Ujian :
..............................................
9.
Nilai Ujian :
..............................................
10.
Keterangan :
..............................................
DOSEN PENGUJI :
1. ...............................
2. ...............................
3. ...............................
PANITIA
UJIAN
Ketua Sekretaris
(Mhd. Taufiqurrahman,
S.H, M.H) (Mhd. Yasid Nasution, S.H, M.H)
Diketahui
Oleh
Dekan
DAFTAR ISI
Hal.
DAFTAR ISI ................................................................................................................... i
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang ............................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah ....................................................................................... 4
C.
Tujuan
Penelitian ......................................................................................... 4
D.
Manfaat
Penelitian ....................................................................................... 4
E.
Tinjauan
Pustaka ......................................................................................... 5
F.
Metode
Penelitian.......................................................................................... 7
G.
Sistematika
Penulisan .................................................................................. 9
BAB II : DASAR HUKUM PERJANJIAN
BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN DALAM KAITAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ........................................................... 11
A.
Perlindungan
Hukum Terhadap Konsumen............................................ 11
1.
Pengertian
Perlindungan Hukum....................................................... 11
2.
Pengertian
Konsumen.......................................................................... 11
3.
Perlindungan
Konsumen...................................................................... 12
B.
Dasar
Hukum Perjanjian Parkir............................................................... 12
1.
Asas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen....................................... 12
2.
Hak
dan Kewajiban Konsumen........................................................... 13
3.
Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha..................................................... 15
4.
Pentingnya
Hukum Perlindungan Konsumen................................... 17
5.
Dasar
Hukum Perjanjian Baku dalam Jasa Perparkiran................ 18
BAB III : KEKUATAN MENGIKAT
PERJANJIAN PARKIR ........................... 21
A.
Keabsahan Perjanjian Standar................................................................. 21
B.
Landasan Keterikatan................................................................................ 21
1.
Individu Sebagai Sumber..................................................................... 21
2.
Hukum Objektif Sebagai Sumber....................................................... 22
3.
Individu dan Hukum Objektif Sebagai
Sumber................................ 22
C.
Tolak Ukur Menurut Hukum Perjanjian
Indonesia............................... 23
1.
Pengaturan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen................................................................................................................ 23
2.
Pengaturan dalam KUH Perdata........................................................ 26
3.
Kekuatan
Mengikat dari Klausul Baku yang Memberatkan Pengguna Parkir 27
BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM
MEMBEBANKAN RISIKO KEHILANGAN KENDARAAN BERMOTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
RI NOMOR : 2157K/PDT/2010................................................................ 29
RI NOMOR : 2157K/PDT/2010................................................................ 29
A.
Tingkat Pengadilan Negeri Samarinda
– Putusan No.
03/Pdt.G/2009/PN.Smda 29
1.
Kronologis.............................................................................................. 29
2.
Pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Samarinda.......... 33
3.
Putusan Pengadilan Negeri Samarinda.............................................. 35
B.
Tingkat Banding Pengadilan Tinggi
Samarinda - Putusan
No. 122/Pdt/2009/PT.Smda........................................................................ 36
No. 122/Pdt/2009/PT.Smda........................................................................ 36
C.
Tingkat Kasasi Mahkamah Agung –
Putusan No. 2157 K/Pdt/2010..... 36
1.
Pertimbangan Mahkamah Agung....................................................... 36
2.
Putusan Mahkamah Agung................................................................. 39
BAB V : PENUTUP .................................................................................................... 41
A.
Kesimpulan
................................................................................................. 41
B.
Saran
........................................................................................................... 43
BAB V : DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejalan
dengan perkembangan jaman, kebutuhan akan penggunaan alat transportasi semakin
meningkat terutama terhadap kendaraan bermotor
pribadi. Keberadaan kendaraan bermotor saat ini sangat dibutuhkan oleh
masyarakat dari berbagai kalangan guna melakukan aktifitasnya sehari-hari, Penggunaan
kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat membuat efisiensi waktu dan
tenaga karena kendaraan bermotor diciptakan memang untuk membantu aktivitas
manusia. Seiring dengan meningkatnya transportasi banyak gedung-gedung pusat
perbelanjaan dibangun dengan menyediakan fasilitas lengkap termasuk fasilitas penitipan
barang. Salah satu fasilitas penitipan barang yang disediakan adalah penitipan
kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat (mobil),
penitipan inilah yang kemudian dikenal oleh masyarakat kebanyakan dengan
istilah parkir.
Usaha perparkiran merupakan salah satu
jenis usaha yang cukup menarik untuk diperhatikan mengingat kebutuhan akan jasa
parkir telah menjadi bagian terpenting bagi masyarakat perkotaan di Indonesia,
Usaha perparkiran merupakan salah satu tempat usaha yang masih banyak
mencantumkan klausula baku dalam prakteknya, terutama tempat-tempat parkir
swasta seperti di mal dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya.
Parkir adalah setiap kendaraan yang berhenti pada
tempat-tempat tertentu baik yang dinyatakan dengan rambu ataupun tidak, serta
semata-mata untuk menaikkan dan atau menurunkan orang dan atau barang. Sedang
termasuk dalam pengertian berhenti antara lain berhenti untuk sementara waktu
yang dimaksudkan untuk kepentingan menaikkan dan atau menurunkan orang dan atau
barang, alat pemberi isyarat lalu lintas menunjukkan cahaya warna merah dan
berhenti didepan tempat penyeberangan (zebra cross).[1] Dari segi kata sendiri
“parkir, “memarkir” adalah menghentikan atau menaruh (kendaraan bermotor) untuk
beberapa saat ditempat yang sudah di sediakan.[2] Dari pengertian tersebut
tidak terlihat adanya kewajiban atau tanggung jawab dari orang yang menyediakan
tempat.
“Titip”, “menitip” adalah menaruh (barang tersebut) supaya
disimpan (dirawat, disampaikan kepada orang lain dan sebagainya),[3] Menurut definisi KUHPerdata
Pasal 1694, Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang
dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya
dalam wujud aslinya.[4] Bertolak belakang dengan
pengertian “parkir”, “memarkir” dalam pengertian “titip”, “menitip” terlihat
adanya tanggung jawab dari orang yang menerima titipan yaitu untuk
menyimpan/merawat barang yang dititipkan.
Pengertian-pengertian sebagaimana dipaparkan di atas pada
intinya merupakan pengertian yang ada di dalam benak masyarakat sehingga
terkadang masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa parkir ragu bahkan tidak
berani memperkarakan kasus hukum yang terkait dengan penitipan sepeda motor
atau mobil, misalnya dalam kasus terjadinya kehilangan motor atau mobil di area
parkir pusat perbelanjaan karena kelalaian petugas terkait. Menurut R.M.Suryodinigrat,
SH sebenarnya kewajiban tukang parkir mobil, sepeda motor berdasarkan KUH
Perdata Pasal 1707 diperberat karena tukang parkir menawarkan jasa-jasanya
untuk menerima titipan mobil, sepeda motor selama waktu tertentu.[5]
Tetapi pada kenyataannya pengguna jasa parkir banyak yang
kurang memahami akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen, sehingga apabila
terjadi adanya kerugian terhadap pengguna jasa parkir di lahan parkir maka
pengelola parkir kebanyakan tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah
dilakukannya, pencantuman klausula baku yang berisikan pengalihan tanggung
jawab pengelola parkir adalah salah satu buktinya, hal ini sangat merugikan
pengguna jasa parkir. Oleh karena itu, konsumen membutuhkan kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepadanya. Hal ini diantaranya dapat dilihat
dalam dunia bisnis perparkiran swasta, salah satunya praktek pemakaian kontrak
baku oleh pengelola parkir swasta.
Selain itu berbagai anggapan terkait
masalah pengertian parkir masih dipahami beragam oleh berbangai masayarakat,
sehingga berpengaruh pada pemahaman hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sebagian masyarakat masih memahami bahwa tanggung jawab pengelola parkir adalah
sebatas penyediaan tempat untuk memarkirkan kendaraan bagi pengelola parkir.
Sebagian lagi berpandangan bahwa selain menyadiakan tempat parkir, pengelola
parkir juga wajib menjaga keamanan kendaraan, termasuk bertanggung jawab atas
kehilangan kendaraan
Pemakaian klausula baku yang dimaksud
adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh salah satu pihak, bahkan
kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir tertentu, sehingga ketika
kontrak ditandatangi para pihak hanya mengisi data-data informative tertentu
saja dnegan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausula, dimana para
pihak tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak, dalam hal ini dalam dunia kredit adalah pihak kreditur sedang dalam
dunia jasa adalah pihak penyedia jasa. Sehingga biasanya sangat berat sebelah
terutama oleh pihak-pihak yang sangat membutuhkan seperti debitur dan pengguna
jasa.
Sebagaimana
dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No. 2157 K/Pdt/2010,
dimana Penggugat I Ramadahan M dan Pengggugat II Ariyanti adalah pengguna jasa
parkir dari pihak Tergugat yaitu PT.
Cipta Sumina Indah Satresna, masing-masing pihak penggugat telah
kehilangan kendaraan bermotor roda dua dari lokasi parkir PT. Cipta Sumina
Indah Satresna tersebut. Namun Pihak Tergugat tidak mau bertanggung jawab atas
kehilangan kendaraan tersebut demikian pada tingkat pertama Pengadilan Negeri
(PN) Samarinda, tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Samarinda dan tingkat
Kasasi Tergugat/Pembanding mendalilkan bahwa klausula baku tersebut mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen sesuai Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menyebutkan : “Klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan telebih
dahulu secara sepihak oleh para pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Demikian juga klausula dalam karcis parkir yang dicantumkan oleh pengelola parkir,
pengelola parkir beranggapan klausula itu sudah sangat jelas sesuai sebagaimana
diatur dalam Pasal 1342 BW yang menyebutkan bahwa : “Jika kata-kata dalam
perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan
jalan penafsiran”.
Dari uraian tersebut di
atas, maka dilakukan penelitian dengan
judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PERJANJIAN BAKU DALAM JASA PERPARKIRAN OLEH PENGELOLA PERPARKIRAN SWASTA (Studi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahannya dalam penelitian
ini adalah :
1.
Apa dasar hukum pemakaian perjanjian
baku dalam jasa perparkiran?
2.
Bagaimana perjanjian baku dalam
perjanjian parkir apakah memiliki kekuatan mengikat?
3.
Apa pertimbangan hakim membebankan
risiko kehilangan kendaraan bermotor pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor :
2157 K/Pdt/2010?
C.
Tujuan Penelitian
Mengacu pada topik
penelitian dan permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dengan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui dasar hukum pemakaian
perjanjian baku dalam jasa perparkiran.
2.
Untuk mengetahui bagaimana perjanjian
baku dalam perjanjian parkir apakah memiliki kekuatan mengikat.
3.
Untuk mengetahui pertimbangan hakim
membebankan risiko kehilangan kendaraan bermotor pada putusan Mahkamah Agung RI
Nomor : 2157 K/Pdt/2010.
D.
Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis
antara lain :
1. Secara
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan bagi perkembangan ilmu hukum dan memberi sumbangan pemikiran
dalam memperbanyak referensi ilmu hukum, khususnya bidang hukum perdata yang
berkaitan dengan perjanjian baku.
2. Secara
Praktis
Dapat memberikan suatu
pemahaman yang mendalam serta bahan pegangan bagi masyarakat khususnya
masyarakat pengguna jasa perparkiran dalam upaya mendapatkan perlindungan hukum.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya
Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjnaji untuk melaksanakan suatu hal[6].
Pembahasan mengenai suatu perjanjian sangat erat kaitannya dengan perikatan,
dimana perjanjian merupakan salah satu su,ber atau yang menjadi sebab lahirnya
suatu perikatan, dalam aspek hukum peraturan yang berlaku dalam perjanjian
diatur dalam KUH Perdata Buku Ketiga yang membahas mengenai “Perikatan”, lebih
spesifik lagi ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Bab Kedua,
dengan kata lain Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata, karena
perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan.
Pengetian Perjnajian
yang tercantum pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan
bahwa suatu perjanjian adalah :
“Suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”
Pengertian perjanjian ini mengandung
unsur :
a) Perbuatan
Penggunaan
kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti
dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut
membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b) Satu
orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk
adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama
lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c) Mengikatkan
dirinya,
Di
dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.
2. Syarat sahnya perjanjian pada
umumnya
Dalam hukum Eropa Kontinental,
syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH
Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :
a)
Kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri;
b)
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c)
Satu hal tertentu (objek); dan
d)
Suatu sebab yang halal.
Keempat hal itu, dikemukakan berikut ini :
a)
Kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus
pada pihak. Suatu kata sepakat dari para pihak merupakan salah satu syarat dari
suatu perjanjian (Toestemming)[7].
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud
dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang
atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena
kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Menurut Sudikno
Mertokusumo ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu
dengan:
a.
Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b.
Bahasa yang sempurna secara lisan;
c.
Bahasa yang tidak sempurna asal dapat
diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya;
d.
Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh
pihak lawannya;
e.
Diam atau membisu, tetapi asal dipahami
atau diterima pihak lawan.[8]
Pada dasarnya, cara yang paling banyak
dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan
secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar
memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang
sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.
b)
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kecakapan
atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah
perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undan-undang. Orang
yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah
kawin. Orang yang tidak berwenang, untuk melakukan perbuatan hukum :
a.
Anak di bawah umur (minderjarigheid),
b.
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan,
dan
c.
Orang-orang perempuan dalam hal yang
ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun
ketentuan ini telah dihapus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1
Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
c)
Satu
hal tertentu (objek) (Onderwerp der Overeenskomst)
Di dalam berbagai
literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi; kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif.
Prestasi terdiri atas:
a.
Memberikan sesuatu.
b.
Berbuat sesuatu, dan
c.
Tidak berbuat sesuatu (Pasa1 1234 KUH
Perdata).
Misalnya, jual beli
rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas
rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Contoh lainnya,
dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan
pekerjaan dan membayar upah. Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan,
dimungkinkan, dan dapai dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya di dalam
mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat
ditentukan secara cukup. Misalnya, A membeli lemari pada B dengan harga
Rp500.000,00. Ini berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda
lainnya.
d)
Suatu
sebab yang halal (Geoorloofde
Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal).
Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu
sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak
tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan
para pihak. Contoh A menjual sepeda motor kepada B. Akan tetapi,
sepeda motor yang dijual oleh A itu adalah barang hasil curian.
Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan
barang yang dibelinya itu barang yang sah. Syarat yang pertama
dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat
objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Bila syarat pertama dan kedua
(subjektif) tidak terpenuhi, perjanjian dapat dimintakan pembatalan kepada
Pengadilan (Vernietigbaur).[9]
Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada
Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya.
Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian
itu tetap dianggap sah. Sedangkan bila syarat ketiga dan keempat tidak
terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (null and void).[10]
Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
3. Pengertian Perjanjian Baku
Di dalam kepustakaan
hukum Inggirs untuk istilah perjanjian baku digunakan istilah standardized agreement atau
standardized contrack. Sedangkan kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract.
Perjanjian Baku adalah
perjanjian yang dibuat secara sepihak dan pihak lainnya hanya mempunyai pilihan
untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut tanpa diberi kesempatan untuk
merundingkan isinya.[11]
Karena itu perjanjian baku atau standart
contract sering disebut juga take it
or leave it contract, Perjanjian baku biasanya sudah dicetak dan isinya
dibuat seragam.[12]
Munir Fuady mengartikan kontrak baku
adalah[13]
:
“Suatu
kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak
tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah
satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak terebut ditandatangani umumnya
para pihak hanya mengisikan data-data klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam
kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang
kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk
bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take
it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar
ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak
tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak
bakuan sich adalah netral”.
Hondius mengemukakan bahwa syarat-syarat
baku adalah[14]:
“Syarat-syarat
konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat,
yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”
Inti dari perjanjian
baku menurut Hondius adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan
pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau
menolak isinya.
Mariam Badrulzaman
mengemukakan bahwa standard contract merupakan
perjanjian yang telah dibakukan, Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan
cirri-ciri perjanjian baku. Ciri perjanjian baku, yaitu[15]
:
a)
Isinya ditetapkan secara sepihak oleh
pihak yang posisi (ekonominya) kuat.
b)
Masyarakat (debitur) sama sekali tidak
ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.
c)
Terdorong oleh kebutuhannya debitur
terpaksa menerima perjanjian itu.
d)
Bentuk tertentu (tertulis).
e)
Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Sutan Remy Sjahdeini
juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku. Perjanjian baku adalah[16]:
“Perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak
lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya
yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan
bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu
suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris
dengan klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan
pihak yang lainnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta
notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”
Dari uraian di atas,
jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah
distandardisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya
diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya
perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia
menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani
perjanjian tersebut.
Dari uraian di atas,
dapat dikemukakan unsure-unsur kontrak baku[17],
yaitu:
a)
Diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat;
b)
Dalam bentuk sebuah formulir; dan
c)
Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.
Pada umumnya selalu
dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang bersifat ambil atau
tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum
perjanjian diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat
diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah
terhadap ekonomi kuat.
a)
Syarat
sahnya Perjanjian Baku
Syarat sahnya suat perjanjian
standar adalah sama halnya dengan syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya.
Yaitu sebagaimana yang diatur pada pasal 1320 KHU Perdata antara lain :
1. Kesepakatan meraka yang mengikatkan
diri (will severeenstemming / Agreement)
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan (capacity)
3. Satu hal tertentu (bepaald
onderwrep/ certainty o term)
4. Suatu sebab yang halal (geororloofde
orzake/ Legality)
Syarat
diatas sifatnya kumulatif. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut tidak sah. Adapun konsekuensi daripada tidak terpenuhinya
syarat subyektif yaitu perjanjian dapat dibatalkan. Apabila perjajian yang
telah dibuat tidak dibatalkan maka perjanjian tersebut masih mengikat. Berbeda
dengan tidak terpenuhinya syarat objektif yaitu apabila tidak terpenuhi maka
konsekuensinya akan batal demi hukum. Ada sebuah pertanyaan menarik mengenai
perjanjian standar berkaitan dengan syarat sahnya. Dalam perjanjian standar
kesepakatan dihasilkan akibat adanya keterpaksaan dari pihak yang kedudukan
ekonominya lebih lemah. Apakah perjanjian tersebut dapat dibatalkan? Pada
dasarnya dalam mencapai kata sepakat seseorang memiliki kebebasan. Kebebasan
tersebut yaitu mengenai sepakat atau tidak, menandatangani perjanjian atau
tidak. Di lain sisi dia dapat memilih dengan siapa dia akan membuat perjanjian.
5.
Jenis
Penggunaan Perjanjian Baku
Menurut Mariam Darulzaman, perjanjian baku apat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu[18]:
a) Perjanjian
standar sepihak
Perjanjian baku sepihak adalah
perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam
perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang
lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi. Misalnya perjanjian buruh secara kolektif.
b) Perjanjian
standar yang ditetapkan pemerintah
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh
pemerintah ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam
bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana
yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No.
104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta
hipotik model 1045055 dan lain sebagainya.
c) Perjanjian
standar yang ditentukan di lingkungan notaris
Perjanjian yang ditentukan di
lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya
sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat
yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam
kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “Contact model”.
F.
Metode Penelitian
Soerjono Soekanto mengatakan :
“Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses
yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap
fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan.”[19]
1.
Jenis Penelitian
Sesuai dengan karekteristik
perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis perjanjian baku dalam jasa
perparkiran oleh perparkiran swasta (studi putusan Mahkamah Agung RI No. 2157
K/Pdt/2010), maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
(yuridis normatif) yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.[20]
penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan per Undang-Undangan yang berlaku.
Penelitian hukum yuridis normatif ini bertujuan untuk menganalisis peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang dasar hukum perjanjian baku dalam jasa
perparkiran.
2.
Jenis Data
Pengertian
data secara umum, yaitu semua informasi mngenai variable atau objek yang
diteliti. Lajimnya dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung
dari masyarakat disebut data primer (primary
Data) dan data yang diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder (secondary data).
Berdasarkan
hal tersebut, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung diperoleh dari lapangan, tetapi
diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumen dan laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
3.
Sumber
Data
Sumber data yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah dimana data diperoleh. Berdasarkan jenis
datanya, maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis bahan hukum.
Dalam penelitian ini dikelompokkan mejadi 3 (tiga) yaitu :
a)
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum
yang mengikat, yakni:
a.
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
b.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen;
c.
Peraturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan.
b)
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: buku-buku, hasil-hasil
penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan
penelitian ini.
c)
Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar
bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang dapat digunakan
untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.
4.
Teknik
dan Alat Pengumpul Data
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (Library Research). Alat
pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan studi dokumen atau
studi kepustakaan yang dimaksud adalah memperoleh data dengan mempelajari,
meneliti dan menganalisa data sekunder dengan mengaitkan pada pokok
permasalahan yang ada.
5.
Teknik
Analisis data
Setelah
pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisis secara kualitatif dengan menganalisa dan mengamati makna
data yang diperoleh dan menghubungkan
tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun
asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Metode
kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[21]
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam
pola, kategori, dan satuan uraian dasar
sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data.[22]
Kemudian data tersebut diolah dianalisis secara kualitatif dan sistematis untuk
selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.
G.
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika
penulisan dapat diuraikan secara keseluruhan yaitu sebagai berikut :
BAB
I Bab ini memberikan gambaran secara
umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan skripsi meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB
II Membahas mengenai perlindungan hokum
bagi konsumen pengguna jasa parker, sejarah perjanjian baku, dasar hukum
perjanjian baku (KUH Perdata dan UU No. 8 Tahun 1999), dasar hukum pemakaian
perjanjian baku dalam jasa perparkiran;
BAB
III Membahas mengenai perjanjian baku
dalam perjanjian parkir apakah memiliki kekuatan mengikat.
BAB
IV
Membahas tentang pertimbangan
hakim membebankan risiko kehilangan kendaraan bermotor pada putusan Mahkamah
Agung RI Nomor : 2157 K/Pdt/2010.
BAB
V
Berisi kesimpulan yang dapat
diambil dari apa yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu serta saran-saran yang
dapat diberikan terhadap pengguna perjanjian baku.
[1] Lihat Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Perparkiran, Penejelasan
umum Pasal 1 huruf g
[2]
Kamus Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cetakan Kesepuluh, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), hal 107.
[3] Ibid, hal.1063.
[4] Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995), hal.107.
[5] RM Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, (Bandung:
Tarsito, 1982), hal.89.
[6] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:Intermasa,1991), hal.1.
[7] J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta:Sinar
Grafika,2010), hal.168.
[8] Salim HS, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003) hal.33.
[9] H.Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2007), hal20.
[10] Ibid.hal.20.
[11] Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana,2004),
hal 126.
[12] Ibid. hal.126.
[13] H.Salim HS, Op.Cit, hal.145.
[14] Ibid.hal 146.
[15] Ibid. hal 146.
[16] Ibid. hal.146-147.
[17] Ibid. hal.147.
[18] Mariam Daruz Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:Alumni
1994), hal.47-48.
[19] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas
Indonesia Press, 1986), hal 43.
[20] Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2010, hal. 34.
[21]Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), hal 53.
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN
JASA PARKIR
DALAM PEMAKAIAN PERJANJIAN BAKU
DALAM PEMAKAIAN PERJANJIAN BAKU
A.
Hukum
Perlindungan Konsumen
1.
Pengertian
Perlindungan Hukum
Aristoteles
mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”,[1]
makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota masyarakat
mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka
sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum
(rechtshandeling) dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).
Perbuatan
hukum (rechtshandeling) diartikan sebagai setiap perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja/atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban
yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum
sepihak seperti pembuatan surat wasiat atau hibah, dan perbuatan hukum dua
pihak seperti jual-beli, perjanjian kerja dan lain-lain.
Hubungan
hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan
individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak
yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain”[2]
Hubungan
hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan
individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak
yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain”.[3]
Perlindungan
hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam
bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat
represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep
dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan dan kedamaian.[4]
2.
Pengertian
Konsumen
Istilah
konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument
(Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen)
setiap orang yang menggunakan barang[5].
Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan
barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi[6].
Konsumen menurut Pasal 2 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalahsetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Selain
pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang
khusus berkaitan dengan masalah ganti rugi. Di Amerika Serikat, pengertian
konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli,
melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang
bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di
Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen berdasarkan Product Liability
Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam
menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive
tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita
kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda
selain produk yang cacat itu sendiri.[7]
Pakar
masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya
sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan
jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan
pemakai akhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai akhir. Konsumen dalam arti
luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen pemakai dalam arti sempit
hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Untuk menghindari kerancuan
pemakaian istilah “konsumen” yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya.[8] Terdapat
beberapa batasan pengertian konsumen, yakni:[9]
a) Konsumen
adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk
tujuan tertentu;
b) Konsumen
antara adalah setip orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan
dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan
komersial).
c) Konsumen
akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang
dan/atau jasa, untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga
dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali
(non-komersial).
Bagi
konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa
bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya.
Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau
pasar produsen. Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut,
konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan
maupun pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta
maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara), dan dapat terdiri dari
penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen
akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti supplier,
distributor, atau pedagang. Sedangkan konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu
adalah barang atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya
(produk konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di
pasar-pasar konsumen.[10]
Nilai barang atau jasa yang digunakan konsumen dalam kebutuhan hidup mereka
tidak diukur atas dasar untung rugi secara ekonomis belaka, tetapi semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan hidup raga dan jiwa konsumen.[11]
3.
Perlindungan
Konsumen
Pengertian
Perlindungan Konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka
(1), yaitu perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Meskipun
dalam pasal di atas hanya menyebutkan perlindungan terhadap konsumen namun
bukan berarti Undang-undang Perlindungan Konsumen ini hanya melindungi konsumen
saja, melainkan hak-hak pelaku usaha juga menjadi perhatian, namun hanya karena
seringnya konsumen menjadi objek kesewenang-wenangan para pelaku usaha sehingga
perlindungan terhadap konsumen terlihat lebih ditonjolkan.
Secara
garis besar, perlindungan konsumen dibagi atas tiga bagian besar, yaitu:
a) hak
yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal,
maupun kerugian harta kekayaan,
b) hak
untuk memperoleh barang dengan harga yang wajar,
c) hak
untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.[12]
Sesuai
garis besar yang disebutkan di atas, kemudian disimpulkan menjadi tiga prinsip
perlindungan konsumen, yaitu:[13]
a) Prinsip
perlindungan kesehatan/harta konsumen.
b) Prinsip
perlindungan atas barang dan harga.
c) Prinsip
penyelesaian sengketa secara patut.
Selanjutnya,
dunia internasional juga ikut memberi perhatian mengenai perlindungan terhadap konsumen
yaitu dinyatakan dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.39/248, tanggal
16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu kepentingan konsumen yang harus
dilindungi, yaitu:
a) Perlindungan
konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
b) Promosi
dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.
c) Tersedianya
informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka
melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.
d) Pendidikan
konsumen.
e) Tersedianya
upaya ganti rugi yang efektif.
f) Kebebasan
untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan
memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Hukum
perlindungan konsumen sampai sekarang belum memiliki pengertian baku baik dalam
peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Namun beberapa
orang sering mengartikan hukum perlindungan konsumen sama saja dengan istilah
hukum konsumen.
Az
Nasution membedakan hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen.
Pembedaan kedua pengertian di atas lebih jauh seperti dikatakan demikian:[14]
“…pada
umumnya, hukum umum yang berlaku dapat pula merupakan hukum konsumen, sedang
bagian-bagian tertentunya yang mngandung sifat-sifat membatasi dan/atau
mengatur syarat-syarat tertentu perilaku kegiatan usaha dan/atau melindungi
kepentingan konsumen, merupakan hukum perlindungan konsumen.”
Menurut pakar hukum yang banyak
melibatkan diri dalam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang dimaksud
dengan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau
jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikannya sebagai keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia
dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.[15]
Selain
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, hukum perlindungan konsumen juga
diatur dalam Pasal 383 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berikut ini:[16]
“Dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan, dihukum penjual yang
menipu pembeli:
a) dengan
sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli,
b) tentang
keadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan dengan memakai akal dan
tipu muslihat.”
4.
Perlindungan
Konsumen di Indonesia
a)
Asas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam
Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen adalah:
Perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:[17]
a. Asas
manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungankonsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas
keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
c. Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual;
d. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas
kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan
substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula
penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan
nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah bangsa negara Republik Indonesia.[18]
Kelima
asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya,
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:[19]
a. asas
kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
b. asas
keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
c. asas
kepastian hukum.
Asas-asas
Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok diatas
yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi
keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan
asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.
Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut
Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah
naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan
melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.[20]
Tujuan
perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu:
a. meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen;
d. menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal
3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan
konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam
pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Keenam
tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan
ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan
keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk
memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan d, serta huruf
f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat
dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena
seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f
terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.[21]
b)
Hak
dan Kewajiban Konsumen
Dalam
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak konsumen. Hak
konsumen adalah :
a. hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak
konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali
dikemukakan oleh Presiden Amerika serikat J.F. Kennedy di depan Kongres pada
tanggal
15 Maret 1962, yang terdiri dari:[22]
15 Maret 1962, yang terdiri dari:[22]
a. hak
memperoleh keamanan;
b. hak
memilih;
c. hak
mendapat informasi;
d. hak
untuk didengar.
Keempat
hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8,
19, 21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (Organization of
Consumer Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:[23]
a. hak
untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. hak
untuk memperoleh ganti rugi;
c. hak
untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. hak
untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Disamping
itu, Masyarakat Eropa (Europese
Ekonomische Gemeenschap atau EEG)
juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:[24]
a. hak
perlindungan kesehatan dan keamanan (recht
op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid);
b. hak
perlindungan kepentingan ekonomi (recht
op bescherming van zijn economische belangen);
c. hak
mendapat ganti rugi (recht op
schadevergoeding);
d. hak
atas penerangan (recht op voorlichting en
vorming);
e. hak
untuk didengar (recht om te worden
gehord).
Beberapa
rumusan tentang hak-hak konsumen yang telah dikemukakan,secara garis besar
dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:[25]
a. hak
yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal,
maupun kerugian harta kekayaan;
b. hak
untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan
c. hak
untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Oleh
karena itu, ketiga hak prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut
sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/ merupakan prinsip
perlindungan konsumen di Indonesia.
Selain
hak konsumen, kewajiban konsumen juga diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:
a. beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
b. membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
c. mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Menyangkut
kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian
barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen,
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi
dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian
bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku
usaha).[26]
Kewajiban
lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya
Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir tidak dirasakan adanya kewajiban
secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa
lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.
Adanya
kewajiban seperti ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dianggap
tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk
mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak
ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti penyelesaian
sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk
maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku
usaha.[27]
a)
Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam
Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha mempunyai hak sebagai
berikut:
a. hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c. hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Hak
pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat
menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya
kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada
umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi,
suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang
serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian
yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.[28]
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak pelaku usaha saja, tetapi juga
mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha. Dalam Pasal 7 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha, antara lain:
a. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan
beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.[29]
Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan
pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan
usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap
purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen,
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan pada saat
transaksi dengan produsen.[30]
c.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Menurut
Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha mempunyai tanggung
jawab. Tanggung jawab pelaku usaha adalah:[31]
a. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
b. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-sundangan yang berlaku.
c. Pemberian
gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
d. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
e. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan
substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha,
meliputi:
a. Tanggung
jawab ganti kerugian atas kerusakan;
b. Tanggung
jawab kerugian atas pencemaran;
c. Tanggung
jawab kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan
hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan
satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa
tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.[32]
c)
Pentingnya
Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum
perlindungan konsumen merupakan hukum konsumen yang memuat
asas-asas/kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang
melindungi kepentingan umu. Lahirnya hukum perlindungan konsumen karena pada
umumnya konsumen berada pada posisi yang lemah dalam hubungan
pengusaha/produsen baiks secara ekonomis, tingkat pendidikan, ataupun daya
kemampuan, daya saing, daya tawar menawar. Kedudukan konsumen ini baik
sendiri/bergabung dalam suatu organisasi tidak seimbang bila dibandingkan
dengan kedudukan pengusaha. Untuk mengimbangi kedudukan tersebut perlu adanya hukum
perlindungan konsumen.
Hukum
Perlindungan Konsumen menurut pendapat R.Setiawan meliputi 2 aspek yaitu:34
perlindungan konsumen
d)
Dasar
Hukum Perjanjian Baku dalam Jasa Perparkiran
Dasar
hukum perjanjian baku dalam jasa perparkiran.
Meskipun
perjanjian standar dinilai kurang mencerminkan roh dari UU No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan konsumen, tetapi perjanjian standar ini tetap berkembang
terutama dalam dunia bisnis. Adapun faktor yang paling mendorong berkembangnya
perjanjian standar adalah konsep dalam perjanjian ada keseragaman, sehingga
tidak perlu membuat perjanjian tiap terjadi transaksi antara pelaku usaha. Form
telah tersedia, hanya mengisi identitas dan transaksi yang dilakukan.
Perjanjian standar lebih cenderung membuat kegiatan lebih efesien dan efektif.
Permasalahan
yang hingga saat ini adalah masih ada keraguan dalam terpenuhinya syarat sah
perjanjian yaitu apakah perjanjian standar telah memenuhi asas kebebasan
berkontrak yang dimaksud Pasal 1320 KUHperdata.
Di Indonesia kita ketahui pula ada
dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian
yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang
menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang
dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang
merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan
hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia yaitu:[33]
a.
Pasal 6.5.1.2 dan Pasal 6.5.1.3 NBW
Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai
berikut:
Bidang-bidang usaha untuk mana
aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat
ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui
sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja
panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan
aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan
keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang
menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima
penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat
dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak
kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
b.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22
prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip
hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan
prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak
diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT
menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua
belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum
tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20-pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara
nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
i.
Tunduk
salah satu pihak terhadap kontrak baku.
ii.
Pengertian
kontrak baku.
c.
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Suatu persyaratan dalam
persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh
suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas
menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti
diatas akan bergantung pada isi bahasa dan penyajiannya.
d.
Pasal 2.21 berbunyi :
dalam hal timbul suatu pertentangan
antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang
disebut terakhir dinyatakan berlaku.
e.
Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
f.
UU No 10 Tahun 1988 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
g.
UU No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkam bahwa pada intinya kontrak baku
merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan
oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak
baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang
berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku
dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya sepanjang tidak merugikan
konsumen.
Dasar hukum perjanjian baku dalam
jasa perparkiran diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 18 ayat (1) sepanjang tidak merugikan
pengguna parker.
[1] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Cetakan Kedelapan
2006. Hal 49.
[2] Uti Ilmu Royen,
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh
Outsourcing, (Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009. Hal.
52.
[3] Ibid.
[4]
http//www.artikata.com/artiperlindunganhukum.html (diakses tanggal 6 Juli 2014)
[5] Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.35.
[6] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal.17.
[7] Ahmadi Miru, Op.Cit, hal.21.
[8] Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen
Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana,
2011, hal. 61-62
[9] A z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
(Jakarta: Daya Widya, 1999), hal.13.
[10] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), hal.25.
[11] Ibid, hal.51.
[12] Ahmadi Miru. Op.Cit, hal. 180.
[13] Ibid
[14] N.H.T. Siahaan. Hukum Konsumen. Perlindungan konsumen dan
tanggung jawab produk. Panta Rei. 2005. Hal 31-32.
[15] Ibid. Hal. 32
[16] R. Soesilo.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal. (Bandung : Politeia, 2000). Hal.265.
[17] Lihat penjelasan Pasal 2,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[18] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hal. 26.
[19] Ahmadi Miru, Op.Cit, hal.33.
[20] Ibid, hal.33.
[21] Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 35
[22] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 39
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid, hal.47.
[26] Ibid, hal. 49
[27] Ibid, hal. 50
[28] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,
Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 51
[29] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,
Op. Cit, hal. 54
[30] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,
Ibid, hal. 54
[31] Lihat Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 19.
[32] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 126
[33]
Ora Et Labora. (2011), Hukum Perjanjian, http://oraetlabora-aiueo.blogspot.com/2011/02/5hukum-perjanjian.html (diakses
tanggal 6 Juli 2014)
BAB III
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PARKIR
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PARKIR
A.
Keabsahan Perjanjian Standar
Substansi KUH Perdata tidak mengatur kontrak
standar, padahal kontrak standar di dalam dunia bisnis saat ini merupakan
praktik transaksi sehari-hari. Pengaturan mengenai kontrak standar di Indonesia
saat ini disandarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen[1], khususnya
pada Pasal 1 butir 10 dan Pasal 18. Ada dua larangan, yaitu pertama, larangan
pencantuman klausul baku pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi kualifikasi
tertentu[2]. Kedua,
larangan pencantuman klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Maksud dari pencantuman larangan di atas dapat kita ketahui dari rumusam
penjelasan Pasal 18 yang menyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak. Asas kekuatan mengikat kontraktual mengandaikan adanya
suatu kebebasan di dalam masyarakat untuk turut serta di dalam lalu lintas
yuridikal dan sekaligus hal tersebut mengimplikasikan asas kebebasan
berkontrak. Apabila di antara para pihak ditutup suatu perjanjian, akan
diandaikan adanya kehendak bebas dari pihak-pihak tersebut. Di dalam konteks
kebebasan kehendak juga terimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Dalam
kenyataan, kesetaraan kekuatan ekonomi dari para pihak sering kali tidak ada.
Sebaliknya, bila kesetaraan antara para pihak tidak dimungkinkan, tidak dapat
dikatakan adanya kebebasan berkontrak. Mengenai keabsahan berlakunya perjanjian
standar, Mariam Darus Badrulzaman[3]
mengutip pendapat Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian standar bukan
perjanjian, sebab kedudukan pengusaha itu (yang berhadapan dengan konsumen) adalah seperti pembentuk
undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Sedangkan Pitlo
menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).
Dalam barisan para sarjana hukum yang mendukung perjanjian standar antara
lain adalah Stein, yang berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai
perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil
en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan
diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti
ia secara sukarela setuju dengan isi perjanjian itu. Asser-Rutten mengatakan
pula bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada
isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda
tangan pada suatu formulir perjanjian standar, tanda tangan itu membangkitkan
kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir
yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui
isinya. Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku
mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan “kebiasaan” (gebruik) yang
berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan[4]. Sementara
menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini, pendirian para ahli hukum di Amerika
Serikat mengenai keabsahan perjanjian standar sangat dipengaruhi oleh
putusan-putusan hakim atau pengadilan, mengingat di Amerika Serikat hukum
perjanjian standar yang berlaku adalah common law, dimana menurut kesimpulan
Whitman dan Gergacz para hakim di Amerika Serikat dalam beberapa perkara enggan
untuk memberlakukan perjanjian-perjanjian yang menurut mereka merupakan
perjanjian adhesi.[5]
Corley dan Shedd menjelaskan tentang adanya perbedaan sikap dari pengadilan-pengadilan
sebelum dan sesudah 1960-an.[6]
Pada awalnya common law mengacuhkan kenyataan bahwa perjanjian
standar dibuat oleh pihak-pihak yang tidak seimbang pengetahuan dan
kedudukannya. Tindakan mengabaikan adanya
ketidakseimbangan ini didasari oleh doktrin “caveat emptor”. Doktrin tersebut,
yang secara harfiah berarti let the buyer beware, merupakan suatu doktrin
yang mengatakan bahwa Pembeli menanggung resiko atas kondisi produk yang
dibelinya. Artinya, Pembeli (konsumen) yang tidak ingin mengalami resiko harus
berhati-hati sebelum membeli produk[7].
Pengadilan-pengadilan mengharapkan bahwa para Pembeli yang langsung
bertransaksi dengan pemilik manufaktur hendaknya dapat menjaga diri mereka
sendiri. Pengadilan-pengadilan jarang menolong seseorang yang menjadi korban
suatu tawar-menawar yang buruk.[8] Namun
sejak 1960-an sikap yang demikian ini telah ditinggalkan. Sejak waktu itu
pengadilan mulai mengawasi penyalahgunaan yang dilakukan oleh pihak yang lebih
kuat sehubungan dengan dipakainya perjanjian standar tersebut. Untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan tersebut pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat
menerapkan konsep atau doktrin baru yaitu doktrin unconscionability.
Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada seorang hakim untuk
mengesampingkan sebagian bahkan seluruh perjanjian demi menghindari hal-hal
yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Dengan berlakunya
asas-asas unconscionability tersebut, menurut Corley dan Shedd sebagaimana
dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, suatu perjanjian standar tetap saja bukan
tidak absah (not illegal) tetapi perlu diteliti sehubungan dengan keadilan
dari perjanjian itu[9].
Praktik dunia usaha saat ini menunjukkan bahwa penggunaan perjanjian standar
sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Sekalipun perjanjian standar sudah biasa
dipergunakan, tetapi masih perlu dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak
bersifat sangat “berat sebelah” dan tidak mengandung “klausul yang secara tidak
wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya”, sehingga perjanjian itu merupakan
perjanjian yang menindas dan tidak adil. Yang dimaksudkan dengan sangat “berat
sebelah” ialah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak
saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian standar tersebut) tanpa mencantumkan
apa yang menjadi kewajibankewajiban pihaknya sedangkan apa yang menjadi hak-hak
pihak lainnya itu tidak disebutkan. Terhadap praktik perjanjian (standar) yang
demikian ini, sering menimbulkan pertanyaan, apakah perjanjian tersebut
memiliki daya kerja mengikat para pihak kalau jelas-jelas substansi dari
perjanjian memuat klausul yang berat sebelah. Untuk itu dalam melakukan
penilaian apakah suatu perjanjian standar memiliki kekuatan mengikat para pihak
atau tidak, perlu dimengerti aturan-aturan dasar atau ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian standar. Aturan dasar ini sangat penting dimengerti agar tercipta
adanya kesamaan pemahaman yang akan membimbing para pelaku usaha menyususun
kontrak bisnis untuk kepentingan usahanya berdasarkan aturan dasar yang berlaku
tersebut. Di bawah ini akan diuraikan beberapa aturan dasar yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan kekuatan mengikan suatu perjanjian
standar.
B. Landasan
Keterikatan
1. Individu
Sebagai Sumber
Suatu perbuatan hukum mendasarkan pada landasan
kekuatan mengikatnya secara yuridikal dalam kehendak psikis yang dinyatakan
oleh pihak yang melakukan tindakan tersebut.[10]
Orang terikat pada kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya melalui kontrak dan
seyogyanya memenuhi dan menaati apa yang telah disepakatinya itu. Di dalam
kehidupan bermasyarakat, seseorang seharusnya dapat mempercayai perkataan orang
lain. Secara universal kita menemukan aturan yang berlaku di tengah masyarakat
yang menyatakan bahwa “janji menciptakan utang” (belofte maakt schuld)[11]. Jika
ada dua pihak yang terlibat, seperti di dalam suatu perjanjian, landasan
perbuatan hukum berganda ialah kehendak kedua belah pihak. Melalui kesepakatan
yang dibuat manusia atau terjadinya perjumpaan kehendak terciptalah kekuatan
mengikat yuridis. Dalam hal ini, Herlien Budiono mengutip pendapat Scholten mengatakan[12]:
“adalah tepat bahwa kita dengan membuat suatu perjanjian mengikatkan diri,
yakni jika kita menghendakinya, namun bukan karena (atau sebagai akibat) dari
kehendak kita tersebut.” Keterikatan atau kekuatan mengikat yuridikal dalam
suatu perjanjian timbul dari kesepakatan manusia satu sama lain. Maka
pertanyaannya ialah apa yang sebenarnya menjadi landasan dari kekuatan mengikat
secara yuridikal? Landasan disini[13]
dapat dimengerti sebagai “sebab (oorzaak)” yang merujuk pada penjelasan
perihal asal-muasal, ataupun dalam artian “dasar hokum (rechtsgrond)” yang
menunjuk pada dasar pembenaran dari gejala dimaksud. Lebih lanjut, Herlien
Budiono menjelaskan bahwa dalam konteks mencari landasan pembenar keterikatan
hukum, Hijma telah membedakan antara landasan atau dasar dari perjanjian dan
landasan dari kekuatan mengikat perjanjian. Dibuat pemilahan tegas antara
“mengapa (waarom)” dari landasan pembenar dan “kapan (wanneer)”
keterikatan kontraktual terjadi. Hubungan antara “mengapa” dan “kapan” dapat
digambarkan sebagai berikut:
“pertama
harus ditemukan alasan pembenarnya terlebih dahulu agar hal ini dapat
diungkapkan ke dalam kriterium yang sepadan”[14]. Pandangan
Scholten ialah bahwa perjanjianlah yang memunculkan atau menjadi sumber
keterikatan:
“bahwa
suatu janji mengikat tidak dapat dijelaskan terkecuali dari fakta bahwa hal itu
adalah janji dan hukum telah memunculkan aturan berkenaan dengan hubungan
antara individu dan masyarakat. Jadi juga antara individu satu sama lain di
dalam masyarakat tertentu. Di antara individu tersebut muncul jalinan hubungan
melalui kata-kata yang disampaikan satu terhadap lainnya. Keterikatan pada
kata-kata yang terucap memiliki kekuatan
sama sebagaimana halnya keterikatan pada suatu perintah yang diterbitkan oleh pihak
yang berkuasa di dalam masyarakat[15].”
Sebagai kriterium Scholten merujuk bukan pada tindakan atau perbuatan manusia, melainkan
ia berupaya mengungkapkan apakah daya kerja kesepakatan antar manusia benar bermakna
sebelum terjadinya keterikatan. Beranjak dari pandangan ini, maka individulah
yang memunculkan keterikatan atau kekuatan mengikat[16].
2. Hukum
Objektif Sebagai Sumber
Pandangan
lain yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalan menentukan landasan kekuatan mengikat
perjanjian adalah apa yang dikutip oleh Herlien Budiono dari pernyataan Hijma :
“Keterikatan
atau kekuatan mengikat tidak muncul dari kekuatan (daya kerja) suatu perilaku,
tetapi atas dasar suatu norma yang sepadan dengan perilaku tersebut. Keterikatan
dan jalinan sosial mengalir dari normanorma kemasyarakatan, keterikatan hukum
(atau yudikal) dari keberlakuan suatu norma hukum,”.
Suatu
norma adalah suatu aturan yang mengekspresikan fakta bahwa seseorang harus (ought)
bertindak dengan cara tertentu, tanpa mengimplikasikan bahwa sungguh-sungguh
menginginkan orang tersebut bertindak demikian[17]. Perbandingan
antara “keharusan” suatu norma dan suatu perintah hanya dalam arti yang
terbatas. Maka tidak ada perbedaan antara hukum yang dibuat oleh parlemen ataupun
kontrak dua pihak. Namun sungguh tidak mungkin menyebut kontrak sebagai suatu
perintah, karena dalam hal ini berarti pembuat perintah memerintahkan diri
sendiri. Tetapi adalah mungkin bahwa suatu norma dibuat
oleh
individu yang sama yang terikat dengan norma ini. Berdasarkan
hal tersebut muncul keberatan bahwa sesungguhnya kontrak tidak mengikat para
pihak. Adalah hukum negara yang mengikat para pihak untuk bertindak sesuai
kontrak[18].
Namun kadang-kadang hukum memang berdekatan dengan kontrak. Hal ini merupakan
esensi dari demokrasi bahwa hukum dibuat oleh individu yang juga terikat dengan
hukum tersebut. Namun hukum yang dibuat dengan jalan demokrasi tidak dapat
disebut sebagai perintah sebab tidak dibuat oleh individu tertentu yang berada
di atas individu lain, tetapi dibuat oleh sesuatu yang impersonal, otoritas
yang berbeda dari individu. Inilah otoritas hukum yang berada di atas individu
yang diperintah dan memberi perintah. Ide ini menunjukkan bahwa kekuatan
mengikat bukan berasal dari orang yang memerintah, tetapi dari perintah
impersonal anonim yang diekspresikan dalam istilah “non sub homine, sed sub
lege”. Perintah yang impersonal dan anonymus ini disebut dengan
norma[19]. Keberlakuan
hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya bertindak sebagai
bentuk kepatuhan dan pelaksanaan norma. Hukum sebagai norma yang valid
ditemukan pada ekspresinya dalam pernyataan bahwa orang harus bertindak dengan
cara tertentu. Pernyataan ini tidak memberikan kita sesuatu tentang peristiwa
sebenarnya. Keberlakuan hukum terdiri dari fakta bahwa orang menyesuaikan
tindakannya sesuai dengan suatu norma. Sumber kekuatan mengikat di dalam hukum
tidaklah muncul dari kehendak orang per orang yang berbuat, tetapi di dalam
perbuatannya itu sendiri, sebagaimana ditempatkan di dalam konteks makna
sosialnya,” demikian dikatakan Van Dunne[20].
Dijadikannya hukum objektif sebagai sumber normative perikatan-perikatan yang
dibebankan pada manusia mengesankan seolah-olah hukum objektif semata-mata
merupakan kumpulan aturan. Sumbernya ialah orang-orang yang berkuasa untuk
menetapkan aturan memaksa tersebut dan sekaligus menetapkan upaya-upaya paksa
dalam rangka memberlakukan dan memaksakan ditaatinya aturan-aturan tersebut.
Namun, jika kita berhenti mengajukan pertanyaan dan puas dengan gambaran hukum
objektif sebagai “keseluruhan aturan-aturan yang diperuntukkan bagi kehidupan
bersama dan ditegakkan
melalui paksaan”, segera kita sampai pada konstruksi bahwa dasar pembenaran
dari fakta yang memunculkan perikatan adalah hukum objektif itu sendiri. Untuk
itu kita dapat merujuk pada, misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang
membuka kemungkinan bagi para pihak untuk memilih apakah kekuasaan negara
hendak didayagunakan atau tidak. Undang-undang melalui ketentuan pasal di atas
mengakui peran dan pengaruh individu pada bentukbentuk kenyataan sosial.
Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bahwa undang-undang menciptakan fakta sosial
tersebut[21].
3. Individu
dan Hukum Objektif Sebagai Sumber
Uraian di atas menunjukkan bahwa dua sumber kekuatan
mengikat saling berhadapan satu sama lain, yang satu menekankan pada kekuatan normative
kehendak dari individu, sedangkan yang lain bersumber pada hukum objektif. Dari
semula harus disadari bahwa pilihannya tidak hanya di antara kedua ajaran itu
saja. Alternatif lain dapat kita temukan di dalam keragaman tata nilai (waardeoordelen).
Untuk menjawab persoalan ini, kita dapat meminta bantuan ilmu pengetahuan hukum
(wetenschap-van-het-recht). Hak milik adat, sebagaimana telah disebut,
merupakan bentuk penguasaan tertinggi yang mungkin dimiliki individu terhadap
kebendaan tertentu di dalam masyarakat adat. Hak milik adat muncul dari hukum
komunal dan sebagai fungsinya ialah individualisasi dari kekuasaan komunal.
Fungsi individualisasi tersebut tidaklah dibatasi oleh hak ulayat (hak
komunal), tetapi fungsi ini tercipta dan terus ada karena adanya hak ulayat.
Cara pandang bangsa Indonesia yang menempatkan kepentingan individu dengan
kepentingan bersama dalam keselarasan dan keseimbangan, tanpa mendahulukan satu
dari lainnya, ialah satu norma[22]. Relasi
khusus yang tercipta antara individu dan masyarakat dan yang menemukan
bentuknya beranjak dari pengertian (konsep) kekeluargaan, gotong royong, dan
tolong- menolong merupakan suatu fakta dalam kehidupan kemasyarakatan
Indonesia. Fakta ini yang menjadi landasan bagi penerimaan kekuatan mengikat
(kontraktual) merupakan batu uji masyarakat hukum Indonesia dan dipergunakan
dalam hal penutupan kontrak. Hijma
berpendapat bahwa jika pertimbangan pertama untuk menjawab pertanyaan siapa
atau apa yang menyebabkan terciptanya kekuatan mengikat (wie of wat
de gebondenheid doet intreden) atau landasan pijak dari keterikatan (waarop
“gebondenheid” berust)[23],
terbuka kemungkinan bahwa manusia sendiri dan juga hukum objektif yang menjadi
faktor-faktor penentu. Dapat juga keterikatan atau kekuatan mengikat ini
diargumentasikan secara lain: kekuatan mengikat tercipta beranjak dari
kesepakatan melalui daya kerja hukum objektif. Ini berarti bahwa pada satu
pihak, kesepakatan itu sendiri yang menyebabkan keterikatan atau menjadi sumber
kekuatan mengikat, dan pada lain pihak, bahwa daya kerja hukum objektif yang
menciptakan keterikatan[24]. Jawaban
atas pertanyaan, apa yang menjadi landasan pijak atau sumber dari
“keterikatan/kekuatan mengikat” menurut asas keterikatan kontraktual Indonesia,
diberikan oleh relasi antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum yang
seimbang, hal itu dapat ditemukan kembali di dalam asas keseimbangan (evenwichtsbeginsel)[25].
C. Tolak
Ukur Menurut Hukum Perjanjian Indonesia
Masalah utama mengenai dimuatnya klausul-klausul
yang memberatkan di dalam suatu perjanjian standar ialah keabsahan dari
klausul-klausul yang memberatkan itu. Dengan kata lain, sampai sejauh mana
keterikatan para pihak terhadap klausul-klausul tersebut. Apakah dengan
dicantumkannya suatu klausul yang memberatkan, misalnya yang merupakan klausul
eksemsi, dalam suatu perjanjian standar atau dengan dinyatakannya oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain bahwa untuk hubungan hukum di antara mereka
berlaku klausul yang bersangkutan, maka pihak yang lain dengan sendirinya sudah
terikat terhadap klausul tersebut dan terhadap klausul itu tidak lagi ada
tantangan-tantangan yuridis?
Di Indonesia belum ada ketentuan undang-undang
maupun yurisprudensi yang secara spesifik memberikan aturan-aturan dasar yang
harus diperhatikan apabila sesuatu pihak dalam suatu perjanjian menghendaki
agar suatu klausul yang memberatkan dalam perjanjian standar berlaku bagi
hubungan hukum antara pihaknya dengan mitra janjinya[26].
Hingga saat ini, undang-undang baru memberikan pengaturan sebatas pencantuman
klausul baku yang diperbolehkan dalam perjanjian, yaitu melalui ketentuan pada
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Para
Hakim di Inggris dan Amerika Serikat melalui berbagai yurisprudensi telah
membuat beberapa aturan dasar yang harus dipenuhi agar klausul di dalam
perjanjian standar yang memberatkan berlaku dan mengikat. Dengan kata lain,
apabila aturan dasar itu tidak dipenuhi, maka hakim akan memutuskan bahwa
klausul itu tidak dapat diterima sebagai bagian dari perjanjian, dan karena itu
para pihak tidak terikat oleh klausul tersebut[27].
Untuk
dapat memahami bagaimana kekuatan mengikat dari suatu perjanjian yang
substansinya terdapat klausul baku yang memberatkan salah satu pihak menurut
hukum perjanjian Indonesia, maka akan diuraikan bahasan sebagaimana di bawah
ini:
1.
Pengaturan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sehubungan dengan pengaturan di dalam undang-undang
mengenai klausul baku, penulis kemukakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab V mengenai
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, yang secara lengkapnya menyatakan:
”(1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
(2)
pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3)
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)
pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
ini”.
Yang
menarik adalah ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tersebut, yang menyatakan bahwa setiap klausula baku yang memuat hal-hal yang
disebut dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah
batal demi hukum. Klausula baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
”Klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”.
Jika kita baca ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat kita lihat bahwa pada
dasarnya pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku tidak membatalkan (demi
hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausula baku tersebut, melainkan hanya
membatalkan (demi hukum) klausula baku tersebut. Jika kita perhatikan ketentuan
mengenai klausula baku yang diatur dan dilarang dalam Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut jelas
merupakan bersifat
membatasi atau mengurangi prestasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini merupakan ketentuan
yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337
KUH Perdata yang merupakan lex generalis-nya[28].
Dengan demikian berarti semua perjanjian yang mengandung causa atau
sebab yang terlarang yang terwujud dalam bentuk prestasi yang tidak
diperkenankan untuk dilakukan menurut hukum, kesusilaan dan ketertiban umum,
meskipun ia memuat atau tidak memuat klausula baku seperti yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan tetap
batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki
daya ikat, dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada debitor melalui
mekanisme hukum yang berlaku.
2.
Pengaturan dalam KUH Perdata
Substansi KUH Perdata belum memuat ketentuan yang
mengatur tentang klausul baku dalam perjanjian. Salah satu aspek dari
perjanjian yang dapat kita temukan pengaturannya dalam substansi KUH Perdata
adalah asas-asas yang berlaku dalam suatu perjanjian. Baik asas kebebasan
maupun asas kekuatan mengikat dalam berkontrak dapat ditemukan landasan
hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
“Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka
yang membuatnya”.
Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 1339 KUH
Perdata kita temukan pengungkapan dari asas kekuatan mengikat:
“Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, atau undangundang.”
Asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan
kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah
mempertanyakan kembali. Janji dari kata-kata yang diucapkan sifatnya mengikat.
Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan ruang
lingkup serta cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Perjanjian memunculkan
akibat hukum dan berlaku bagi para pihak seolah undang-undang (Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata). Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang
dilakukan oleh para pihak sendiri, Herlien Budiono mengutip pendapat Fried
menyatakan bahwa landasan kekuatan mengikat perjanjian ada pada moral[29]:
“Legal obligation can
be imposed only by the community, and so imposing it the community must be
pursuing its goals and improsing its standardards, rather than neutrally
endorsing those of the contracting parties,”
Lebih
lanjut Herlien Budiono menjelaskan:
“Kata-kata itu sendiri tidak mengikat,
namun yang mengikat ialah katakata yang ditujukan kepada pihak lainnya; saya
harus membayar, bukan karena saya menghendakinya, tetapi karena saya telah
berjanji untuk melakukan hal itu, yakni dalam artian saya telah menyatakan
kehendak (untuk membayar) tersebut kepada pihak lain.[30]”
Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan
dengan baik jika seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu
pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu,
terkecuali bahwa kontrak memang mengikat karena merupakan suatu janji, serupa
dengan undangundang karena undang-undang tersebut dipandang sebagai perintah
pembuat undang-undang[31].
Undang-undang sebagai suatu aturan hukum adalah perintah yang mengikat karena
dibuat oleh otoritas yang kompeten. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual
ditiadakan, hal itu sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran
(benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, “kesetiaan pada
janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akal-budi
alamiah”[32].
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang telah disebutkan di atas selanjutnya
dimengerti dalam artian bahwa sebenarnya setiap orang dan sesame orang lain
dapat bertindak seolah pembuat undang-undang dengan menggunakan perjanjian.
Sebab itu pula, perjanjian dianggap sebagai sumber hukum disamping undang-undang,
karena setiap perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang. Hal ini
berarti, tiada kurang maupun lebih, bahwa setiap orang dengan caranya sendiri,
dengan membuat perjanjian, dapat bertindak selaku pembuat undang-undang di
dalam lingkup hukum keperdataan (privat), yang mengatur perilaku antara
sesama orang tersebut.
3.
Kekuatan
Mengikat dari Klausul Baku yang Memberatkan Pengguna Parkir
Sekarang kita tiba
pada masalah legitimasi (pembenaran hukum) dari daya mengikat klausul baku yang
memberatkan Pengguna Parkir yang sebenarnya secara dasar menyangkut masalah
kekuatan mengikat kontrak. Dengan kata lain, apa yang harus kita anggap penting
dalam melakukan pembentukan dan penafsiran dari aturan-aturan yang mengatur
keberlakuan kontrak.
Daya mengikat
kontrak beranjak dari BW-Belanda (lama) yang pada saat ini telah diperbarui dan
diundangkan (pada tahun 1992) dilegitimasi atas dasar pertimbangan bahwa hal
tersebut dilandaskan pada kesepakatan para pihak terkait[33].
Namun demikian di dalam ketentuan Pasal 1321 s.d Pasal 1328 KUH Perdata, tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan kesepakatan tersebut, bahkan mengenai cara
bagaimana kesepakatan tersebut harus terwujud juga tidak dijelaskan, hanya
disebutkan kondisi-kondisi yang membuat perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Hukum mengakui otonomi individu dalam kebebasan penuh untuk membuat kontrak;
dengan siapa ia hendak membuat kontrak, dan juga kebebasannya untuk menentukan
sendiri muatan isi kontrak. Kebebasan berkontrak akan dibatasi bila pelaksanaan
kebebasan berkontrak dalam situasi konkret ternyata bertentangan dengan
kepentingan dalam tataran yang lebih tinggi. Pada umumnya, undang-undang
memandang penting prinsip kebebasan untuk melakukan perbuatan. Tidaklah
selamanya mudah untuk menetapkan apakah suatu ketentuan bersifat memaksa atau
sekadar mengatur dan melengkapi. Dalam rangka itu, maka harus diperhatikan
terutama maksud pembuat undang-undang serta maksud dan tujuan kontrak.
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional,
Cet. 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 117.
[2] Lihat ketentuan
pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[3] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2009), hal. 77.
[4] Ibid. hal. 78.
[7] Inosentius
Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta:
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 4.
[8] Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit.
hal. 79.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. hal.
79.
[10] Herlien Budiono, Op. Cit. hal.
297.
[11] Ibid. hal. 375.
[12] Ibid. hal. 297.
[14] dikatakan Hijma
dalam Herlien Budiono, ibid.
[16] Menurut Hijma, Scholten tidak
berupaya mencari ratio (pembenaran) dari keterikatan yang dimunculkan
hukum, namun justru cara bagaimana keterikatan tersebut muncul sebagaimana adanya. Herlien Budiono, Loc.
Cit. hal. 299.
[17] Jimly Asshiddiqie, M. Ali
Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: konstitusi Press, 2006), hal. 39.
[18] Ibid. hal. 40
[20] Herlien Budiono, Op. Cit.
hal. 301.
[21] Ibid. hal. 302.
[22] Ibid. hal. 303.
[23] Ibid.
[24]Herlien Budiono,
Ibid, hal. 304.
[25] Ibid.
[26] Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit,
hal. 87.
[27] Ibid. hal. 88.
[28] Kartini Muljadi & Gunawan
Widjaja, Op. Cit, hal. 53.
[29] Helien Budiono, Op. Cit,
hal. 101. Periksa juga P. S Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract, (Oxford, Oxford University
press, 1979), hal. 168.
[30] Ibid.
[31]Periksa Jimly
Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang
Hukum,
(Jakarta: konstitusi Press, 2006), hal. 36.
BAB
IV
PERTIMBANGAN
HAKIM MEMBEBANKAN RISIKO KEHILANGAN KENDARAAN BERMOTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG RI NOMOR : 2157K/PDT/2010
A.
Tingkat Pengadilan Negeri Samarinda
– Putusan No.
03/Pdt .G/2009/PN.Smda
1.
Kronologis
PENGGUGAT I:
Penggugat
I adalah pemilik dari kendaraan bermotor roda 2 (sepeda motor) dengan nomor
polisi awal sesuai STNK sementara KT-3805-XB Jenis Suzuki FU 150 (CKD) Lembar
Formulir Buku Tanda Coba KendaraanNo. 007877 H/KT/2008, selanjutnya sesuai STNK
No. 0114371/KT/2008 nomor polisi berubah menjadi KT.3646 NP, Nama Pemilik:
Ramadhan M, alamat Jalan Elang No. 68, RT 81, Kelurahan Supida Samarinda,
Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/SPD. Motor, Tahun
pembuatan: 2008, Tahun perakitan: 2008, Isi Selinder 150 CC, Warna: Hitam Abu-Abu,
Nomor Rangka/NK: MH8BG41CA8J-199742, Nomor mesin: G420-ID-199311, Warna TNKB:
Hitam, Bahan bakar: bensin, No. Urut Pendaft: 397/24.07.2008/B;
Pada
tanggal 24 Agustus 2008 sekitar jam 18.00 wita Penggugat I berkunjung ke Mall
Lembuswana yang beralamat di Jalan S. Parman – M. Yamin Samarinda untuk belanja
dan sebelum memasuki kawasan Mall Lembuswana Penggugat I membayar karcis parkir
sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan mendapatkan karcis parkir dengan nomor
seri E: 736073 dan selanjutnya Penggugat I masuk kedalam kawasan perparkiran
Mall Lembuswana dan kemudian Penggugat I memarkirkan sepeda motor di tempat
yang telah disediakan;
Setelah
memarkirkan sepeda motor Penggugat I kemudian memasuki Mall Lembuswana untuk
berbelanja sampai dengan sekitar jam 20.00 wita Penggugat I keluar dan menuju
tempat parkir untuk mengambil motor, namun motor Penggugat I ternyata tidak ada
di tempat parkir. Akhirnya Penggugat I keliling tempat parkir untuk mencarinya
dan menanyakan ke petugas parkir Mall Lembuswana, namun motor tidak ditemukan
atau hilang;
Setelah
mengetahui motor hilang, Penggugat I melaporkan kehilangan kepada pengelola
parkir Mall Lembuswana, dalam hal ini Tergugat (PT. Cipta Sumina Indah
Satresna) dan meminta pertanggung jawaban Tergugat untuk mengganti motor
Penggugat I, namun Tergugat menolaknya;
Selanjutnya
Penggugat I pada tanggal 25 Agustus 2008 menyampaikan pengaduan ke Lembaga
Perlindungan Konsumen Kaltim dan selanjutnya Lembaga Perlindungan Konsumen
Kaltim mengirim surat kepada Tergugat sebagaimana suratnya tertanggal 10
September 2008, No. 31/LPK-KT/U/IX/2008, perihal: Tindak Lanjut Laporan
Kehilangan Kendaraan Konsumen;
Selanjutnya
Tergugat menanggapi melalui suratnya No. 688/Wkl.GM-CSIS/SMD/IX/2008 yang
berisi:
-
Sehubungan dengan surat No.
31/LPK-KT/U/IX/2008 perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan
Konsumen tertanggal 10 September 2008, dengan ini kami menyampaikan dan memberi
penjelasan mengenai perparkiran di area Mall Lembuswana;
-
Retribusi kendaraan bermotor roda dua
untuk parkir di area/kawasan Mall Lembuswana sebesar Rp. 1.000,- (seribu
rupiah) hanya untuk pemakaian lahan parkir;
-
Ketentuan yang dilakukan oleh pihak
pengelola (Management) yang tertera pada karcis retribusi parkir sebagai
ketentuan/syarat memasuki kawasan perparkiran;
-
Pada saat pengunjung/konsumen telah
menyetujui ketentuan yang tertera di karcis retribusi tersebut dan segala
kehilangan dan kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di
dalamnya adalah resiko sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun) dan bukan
tanggung jawab pengelola;
-
Pemeriksaan STNK di pintu keluar untuk
meminimalkan pencurian kendaraan bermotor roda dua di areal/kawasan Mall
Lembuswana;
Atas
kehilangan motor Penggugat I di parkir Mall Lembuswana, Penggugat I menyampaikan
laporan kehilangan ke Poltabes Samarinda sebagaimana Surat Tanda Penerimaan
Laporan No. Pol: K/1823/VIII/2008 SPK tertanggal 24 Agustus 2008;
Atas
kehilangan motor Penggugat I di Mall Lembuswana Penggugat I menderita kerugian
sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) seharga
sepeda motor yang hilang dan sejak tanggal 1 September 2008 hingga sekarang
keperluan sehari-hari sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
PENGGUGAT II:
Penggugat
II adalah pemilik dari kendaraan bermotor roda 2 (sepeda motor) dengan nomor
polisi KT-3639 NL, Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD), Jenis/Model: SPD MTR/SPD.
Motor R2, Tahun pembuatan: 2007, Tahun rakitan: 2007, Isi silinder: 150 CC,
Warna: Abu-Abu Hitam, Nomor Rangka/NK: MH 8BG41CA7J-163495, Nomor mesin:
G420-ID-163711, Warna TNKB: Hitam, Bahan bakar: bensin, No. Urut Pendaft:
610/24.01.2008/B;
Pada
tanggal 6 Juli sekitar jam 19.00-20.00 wita Penggugat II berkunjung ke Mall
Lembuswana di Jalan S. Parman – M. Yamin Samarinda untuk belanja dan sebelum
memasuki kawasan Mall Lembuswana Penggugat II membayar karcis parkir sebesar
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan mendapatklan karcis parkir dengan nomor seri E:
392691 dan selanjutnya Penggugat II masuk kedalam kawasan perparkiran Mall
Lembuswana dan kemudian Penggugat II memarkirkan sepeda motor di tempat yang
telah disediakan;
Setelah
memarkirkan sepeda motor Penggugat II kemudian memasuki Mall Lembuswana untuk
berbelanja sampai dengan sekitar jam 20.00 wita Penggugat II keluar dan menuju
tempat parkir untuk mengambil motor, namun motor Penggugat II ternyata tidak
ada di tempat parkir. Akhirnya Penggugat II keliling tempat parkir untuk
mencarinya dan menanyakan ke petugas parkir Mall Lembuswana, namun motor tidak
ditemukan atau hilang;
Setelah
mengetahui motor hilang, Penggugat II melaporkan kehilangan kepada pengelola
parkir Mall Lembuswana, dalam hal ini Tergugat (PT. Cipta Sumina Indah
Satresna) dan meminta pertanggung jawaban Tergugat untuk mengganti motor
Penggugat II, namun Tergugat menolaknya;
Selanjutnya
Penggugat II pada tanggal 1 September 2008 menyampaikan pengaduan ke Lembaga
Perlindungan Konsumen Kaltim dan selanjutnya Lembaga Perlindungan Konsumen
Kaltim mengirim surat kepada Tergugat sebagaimana suratnya tertanggal 10
September 2008, No. 31/LPK-KT/U/IX/2008, perihal: Tindak Lanjut Laporan
Kehilangan Kendaraan Konsumen;
Selanjutnya
Tergugat menanggapi melalui suratnya No. 688/Wkl.GM-CSIS/SMD/IX/2008 yang
berisi:
-
Sehubungan dengan surat No.
31/LPK-KT/U/IX/2008 perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan
Konsumen tertanggal 10 September 2008, dengan ini kami menyampaikan dan memberi
penjelasan mengenai perparkiran di area Mall Lembuswana;
-
Retribusi kendaraan bermotor roda dua
untuk parkir di area/kawasan Mall Lembuswana sebesar Rp. 1.000,- (seribu
rupiah) hanya untuk pemakaian lahan parkir;
-
Ketentuan yang dilakukan oleh pihak
pengelola (Management) yang tertera pada karcis retribusi parkir sebagai
ketentuan/syarat memasuki kawasan perparkiran;
-
Pada saat pengunjung/konsumen telah menyetujui
ketentuan yang tertera di karcis retribusi tersebut dan segala kehilangan dan
kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya adalah
resiko sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun) dan bukan tanggung jawab
pengelola;
-
Pemeriksaan STNK di pintu keluar untuk
meminimalkan pencurian kendaraan bermotor roda dua di areal/kawasan Mall
Lembuswana;
Atas
kehilangan motor Penggugat II di parker Mall Lembuswana, Penggugat II
menyampaikan laporan kehilangan ke Polsekta Samarinda Ulu sebagaimana Surat
Tanda Penerimaan Laporan No. Pol: K/84/2008/Sek Ulu tertanggal 6 Juli 2008;
Atas
kehilangan motor Penggugat II di Mall Lembuswana Penggugat II menderita
kerugian sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah)
seharga sepeda motor yang hilang dan sejak tanggal 1 Agustusr 2008 hingga
sekarang Penggugat II terpaksa menyewa motor untuk menunjang keperluan
sehari-hari sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
2.
Pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Samarinda
Pertimbangan Pengadilan Negeri
Samarinda
a) Bahwa
hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat adalah
hubungan antara konsumen dan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
b) Bahwa
Penggugat I dan Penggugat II adalah konsumen yaitu sebagai orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri dan
tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
c) Bahwa
Tergugat adalah pelaku usaha yaitu badan usaha yang berbentuk badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama malalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;
d) Bahwa
kegiatan usaha yang diselenggarakan Tergugat adalah sebagai pengelola dan
penyedia jasa parkir di Mall Lembuswana. Jasa adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan konsumen;
e) Bahwa
Penggugat I dan Penggugat II sebagai konsumen pengguna jasa parkir Mall
Lembuswana telah memenuhi kewajiban membayar biaya parkir sebesar
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sesuai dengan retribusi parkir yang ditetapkan Tergugat (Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), oleh karenanya mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa parkir Mall Lembuswana (Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sesuai dengan retribusi parkir yang ditetapkan Tergugat (Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), oleh karenanya mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa parkir Mall Lembuswana (Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
f) Bahwa
dengan hilangnya sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II saat diparkir di
parkiran Mall Lembuswana jelas menunjukkan pengabaian terhadap hak atas
keamanan sepeda motor yang di parkir di Mall Lembuswana. Tergugat telah lalai
menjaga keamanan sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II hingga sepeda motor
tersebut hilang;
g) Bahwa
pengabaian hak atas keamanan oleh Tergugat terhadap sepeda motor Penggugat I
dan Penggugat II saat diparkir di Mall Lembuswana hingga menyebabkan hilang,
jelas merupakan perbuatan melawan hukum yaitu tidak terpenuhinya Pasal 4 huruf
(a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
h) Bahwa
sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat,
Penggugat I dan Penggugat II menderita kerugian;
i)
Bahwa kerugian materiil Penggugat I
adalah hilangnya sebuah sepeda motor Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD),
Jenis/Model: SPD-MTR/SPD.Motor, Tahun pembuatan: 2008, Tahun perakitan: 2008,
Isi silinder: 150 CC, Warna: Hitam abu-abu, seharga Rp. 12.250.000,- (dua belas
juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
j)
Bahwa kerugian materiil Penggugat II
adalah hilangnya sebuah sepeda motor KT 3639 NL, Merk/Type: Suzuki/FU 150
(CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/S.Motor R2, Tahun pembuatan: 2007, Tahun perakitan:
2007, Isi silinder: 150 CC, Warna: Abu-abu hitam, Nomor Rangka/NK:
MH8BG41CA7J-163495, Nomor Mesin: G420-ID-163711, Warna TNKB: Hitam, Bahan
bakar: Bensin, seharga Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh
ribu rupiah);
3.
Putusan Pengadilan Negeri Samarinda
Pengadilan
Negeri Samarinda dalam putusan No. 03/Pdt .G/2009/PN.Smda Menolak seluruh
Eksepsi yang diajukan Tergugat dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
sebagian, yaitu:
a) Menyatakan
Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan segala akibat hukum yang
timbul dari padanya;
b) Menghukum
Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat I
sebesar Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
c) Menghukum
Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat II
sebesar Rp. 12.250.000,- (dua belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);
d) Menghukum
Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini, yang hingga
kini diperhitungkan sebesar Rp. 291.000,- (dua ratus sembilan puluh satu ribu
rupiah);
e) Menolak
gugatan Penggugat I dan II untuk selebihnya;
B.
Tingkat Banding Pengadilan Tinggi
Samarinda - Putusan
No. 122/Pdt/2009/PT.Smda
Tergugat melakukan permohonan
banding atas putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pdt
.G/2009/PN.Smda, Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Samarinda dengan Putusan No. 122/Pdt/2009/PT.Smda tanggal 11
Januari 2010.
C.
Tingkat Kasasi Mahkamah Agung –
Putusan No. 2157 K/Pdt/2010
1.
Pertimbangan Mahkamah Agung
Setelah Putusan Pengadilan
Tinggi Samarinda No. 122/Pdt/2009/PT.Smda, kemudian Tegugat dengan perantaraan
kuasanya, berdasarkan surat kausa khusus tanggal 19 Maret 2010 diajukan
permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 2 Maret 2010, sebagaimana ternyata
dari Akte Permohonan Kasasi No. 03/Pdt.G/2009/PN.Smda, yang dibuat oleh
Panitera Pengadilan Negeri Samarinda, permohonan mana diikuti oleh memori
kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri tersebut pada tanggal 8 Maret 2010;
Alasan-alasan
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada
pokoknya ialah:
a) Bahwa
judex facti telah salah dalam menerapkan hukum, karena dalam pertimbangan
hukumnya telah mencampur adukkan antara konsep perbuatan melawan hukum dan
konsep wanprestasi, padahal dalil gugatan para Penggugat adalah hubungan hukum
antara para Penggugat dengan Tergugat adalah merupakan hubungan kontrak standar
atau kontrak baku yang secara tertulis dan yuridis diakui eksistensinya dalam
hukum positif di Indonesia, yang salah satu ketentuan yuridis normatif
berkaitan dengan kontrak standar atau kontrak baku diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menentukan di dalam Pasal 1
angka 10 yang berbunyi: "Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen;
b) bahwa
judex facti secara tersurat telah mempertimbangkan tentang kontrak standar atau
kontrak baku, dimana majelis Hakim mempertimbangkan klausula yang terdapat pada
karcis E: 392691 dan E: 736073 yang menyatakan: "Tergugat tidak
bertanggung jawab atas hilangnya kendaraan bermotor dari pengguna parkir",
menurut hemat Majelis Hakim haruslah ditafsirkan bahwa klausula tersebut
diberlakukan sepanjang tidak ada kelalaian dari pihak pengelola parkir.
Pertimbangan tersebut keliru, karena Majelis Hakim telah menafsirkan klausula
kontrak standar atau kontrak baku tersebut bahwa klausula dalam karcis parkir
tersebut bunyinya adalah sangat jelas sekali. Menurut ketentuan Pasal 1342 BW,
jika kata-kata suatu perjanjian jelas tidaklah diperkenankan untuk menyimpang
dari padanya dengan jalan penafsiran. Bahwa ketentuan Pasal 1342 BW tersebut
sangat sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang pentingnya konsumen dimana ditentukan klausula-klausula tersebut
sifatnya mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Bahwa penafsiran yang
dilakukan oleh Majelis Hakim yang menguatkan klausula tersebut haruslah
ditafsirkan diberlakukan sepanjang tidak ada kelalaian dari pihak pengelola
parkir merupakan tindakan yang salah dan keliru dalam menerapkan hukum Pasal
1342 BW dan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999;
c) Bahwa
judex facti dalam putusannya halaman 23 alinea 2 telah mempertimbangkan bahwa
Tergugat tidak sepenuhnya atau lalai menjalankan kewajibannya, maka hal ini
sudah masuk dalam pertimbangan tentang wanprestasi. Pernyataan lalai dan
kelalaian jelas merupakan ranah dari wanprestasi;
d) Bahwa
judex facti dalam putusannya halaman 23 alinea 1 telah mempertimbangkan
ketentuan Pasal 4 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, akan tetapi ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak dilaksanakan, padahal secara jelas
ditentukan klausula dalam perjanjian baku mempunyai sifat mengikat dan wajib
dipenuhi;
Terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat Bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah dalam menerapkan hokum.
Terlepas
dari pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung amar
putusan Pengadilan Tinggi Samarinda yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Samarinda harus diperbaiki sepanjang mengenai besarnya ganti kerugian dengan
pertimbangan sebagai berikut:
-
Bahwa telah terbukti Tergugat lalai
dalam menjalankan usahanya yang merugikan orang lain, oleh karena itu harus
dihukum untuk membayar ganti rugi seharga barang yang hilang;
-
Bahwa adapun Tergugat rugi biaya dan
waktu adalah merupakan akibat dari kelalaiannya sendiri, sehingga tidak dapat
dibebankan kepada para Penggugat;
Berdasarkan
pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi:
PT. CIPTA SUMINA INDAH SATRESNA
tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi
Samarinda No. 122/Pdt/2009/PT.Smda tanggal 11 Januari 2010 yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Samarinda No. 03/Pdt.G/2009/PN.Smda tanggal 15 Juni
2009.
2.
Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah
Agung dalam putusan No. 2157K/PDT/2010 Menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi: PT. CIPTA SUMINA INDAH SATRESNA,
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Samarinda No. 122/Pdt/2009/PT.Smda
tanggal 11 Januari 2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda No.
03/Pdt.G/2009/PN.Smda tanggal 15 Juni 2009, sehingga amar selengkapnya sebagai
berikut:
DALAM
EKSEPSI:
-
Menolak eksepsi dari Tergugat;
DALAM
POKOK PERKARA:
a) Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian;
b) Menyatakan
Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan segala akibat hukum yang
timbul dari padanya;
c) Menghukum
Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat I
sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
d) Menghukum
Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penggugat II
sebesar Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
e) Menghukum
Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp.
291.000,- (dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
f) Menolak
gugatan Penggugat I dan II untuk selain dan selebihnya;
-
Menghukum Pembanding untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu
rupiah);
-
Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp 500.000,- (lima ratus
ribu rupiah);
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pada
prinsipnya, dasar hukum suatu perjanjian seperti dinyatakan dalam pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan Para pihak yang memiliki sepakat akan
memberikan persetujuan dan penundukannya pada semua klasula yang ternyata dalam
perjanjian dalam bentuk pembubuhan tanda tangan.
Dasar
hukum perjanjian baku dalam jasa perparkiran diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 18 ayat (1), Dalam perjanjian parkir yang memakai
klausula baku seperti yang tercantum dalam karcis retribusi parkir
PT. CIPTA SUMINA INDAH SATRESNA
“segala kehilangan dan barang-barang di dalamnya adalah resiko sendiri (tidak
ada penggantian berupa apapun) dan bukan tanggung jawab pengelola” Klausula
seperti ini adalah klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha.
Peraturan
perundang-undangan tidak secara langsung menyatakan pelarangan untuk melakukan
pembuatan perjanjian baku. Pelarangan yang ditegaskan adalah pada klasula baku
yang dapat menempatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha pada kedudukan yang
tidak setara, seperti dalam perjanjian parkir pada umumnya merugikan konsumen parkir.
2. Klausula
baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah:
”Klausula
baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen”.
Ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat dilihat bahwa
pada dasarnya pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku tidak membatalkan
(demi hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausula baku tersebut, melainkan
hanya membatalkan (demi hukum) klausula baku tersebut. ketentuan mengenai
klausula baku yang diatur dan dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut jelas merupakan bersifat membatasi atau mengurangi
prestasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini merupakan ketentuan yang bersifat lex
specialis terhadap ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata yang
merupakan lex generalis-nya. Dengan demikian berarti semua perjanjian
parkir yang mengandung causa atau sebab yang terlarang yang terwujud
dalam bentuk prestasi yang tidak diperkenankan untuk dilakukan menurut hukum,
kesusilaan dan ketertiban umum, meskipun ia memuat atau tidak memuat klausula
baku seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen akan tetap batal demi hukum, dengan pengertian bahwa
perjanjian parkir tersebut tidak memiliki daya ikat, dan tidak dapat dipaksakan
pelaksanaannya kepada pengguna parkir melalui mekanisme hukum yang berlaku.
3.
Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
melalui amar putusan Pengadilan Tinggi Samarinda yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Samarinda, yang diperbaiki mengenai besarnya ganti kerugian
dengan pertimbangannya adalah sebagai berikut:
a) Bahwa
hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat adalah
hubungan antara konsumen dan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
b) Bahwa
Penggugat I dan Penggugat II adalah konsumen yaitu sebagai orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri dan
tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
c) Bahwa
Tergugat adalah pelaku usaha yaitu badan usaha yang berbentuk badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama malalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;
d) Bahwa
kegiatan usaha yang diselenggarakan Tergugat adalah sebagai pengelola dan
penyedia jasa parkir di Mall Lembuswana. Jasa adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
konsumen;
e) Bahwa
Penggugat I dan Penggugat II sebagai konsumen pengguna jasa parkir Mall
Lembuswana telah memenuhi kewajiban membayar biaya parkir sebesar
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sesuai dengan retribusi parkir yang ditetapkan Tergugat (Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), oleh karenanya mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa parkir Mall Lembuswana (Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sesuai dengan retribusi parkir yang ditetapkan Tergugat (Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), oleh karenanya mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa parkir Mall Lembuswana (Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999);
f) Bahwa
dengan hilangnya sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II saat diparkir di
parkiran Mall Lembuswana jelas menunjukkan pengabaian terhadap hak atas
keamanan sepeda motor yang di parkir di Mall Lembuswana. Tergugat telah lalai
menjaga keamanan sepeda motor Penggugat I dan Penggugat II hingga sepeda motor
tersebut hilang;
g) Bahwa
pengabaian hak atas keamanan oleh Tergugat terhadap sepeda motor Penggugat I
dan Penggugat II saat diparkir di Mall Lembuswana hingga menyebabkan hilang,
jelas merupakan perbuatan melawan hukum yaitu tidak terpenuhinya Pasal 4 huruf
(a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
h) Bahwa
sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat,
Penggugat I dan Penggugat II menderita kerugian;
i)
Bahwa kerugian materiil Penggugat I
adalah hilangnya sebuah sepeda motor Merk/Type: Suzuki/PU 150 (CKD),
Jenis/Model: SPD-MTR/SPD.Motor, Tahun pembuatan: 2008, Tahun perakitan: 2008,
Isi silinder: 150 CC, Warna: Hitam abu-abu, seharga Rp. 17.500.000,- (tujuh
belas juta lima ratus ribu rupiah);
j)
Bahwa kerugian materiil Penggugat II
adalah hilangnya sebuah sepeda motor KT 3639 NL, Merk/Type: Suzuki/FU 150
(CKD), Jenis/Model: SPD-MTR/S.Motor R2, Tahun pembuatan: 2007, Tahun perakitan:
2007, Isi silinder: 150 CC, Warna: Abu-abu hitam, Nomor Rangka/NK: MH8BG41CA7J-163495,
Nomor Mesin: G420-ID-163711, Warna TNKB: Hitam, Bahan bakar: Bensin, seharga
Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
B.
SARAN
1.
Perlu adanya sosialisasi yang lebih
terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, terutama memberi
pengetahuan yang cukup kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai pengguna jasa parkir. Dengan mengetahui hak dan
kewajibannya konsumen dapat melakukan pilihan yang tepat terutama apabila
terjadi kehilangan kendaraan bermotor. Konsumen dapat menentukan sikapnya
sesuai dengan apa yang dikehendaki atau menjadi tujuan dari Undang-undang
Perlindungan Konsumen.
2.
Perlu adanya sosialisasi oleh
pemerintah kepada pengelola parkir mengenai larangan penggunaan klausula baku dalam
karcis parkir yang sangat berpotensi merugikan konsumen, dalam karcis parkir
sebaiknya dicantumkan pula hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usahanya,
sehingga kedua belah pihak dapat saling memahami hak dan kewajibannya
masing-masing.
Pencantuman klausula baku dalam
retribusi parkir kendaraan hendaknya mempertimbangkan prinsip keseimbangan dan
kesetaraan dalam sebuah perjanjian.
3.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor :
2157 K/Pdt/2010 yang menghukum Tergugat membayar ganti rugi atas hilangnya
sepeda motor milik Penggugat I dan Penggugat II masing-masing sebesar Rp.
17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah), putusan tersebut telah
sesuai dengan dengan rasa keadilan yang ada, dimana pengguna parkir juga adalah
bagian dari masyarakat luas yang sangat membutuhkan pelayanan parkir yang
profesional.
Demikian tulisan ini saya buat dengan harapan saya, dan semua para pembaca yang juga sebagai pengguna jasa parkir dimanapun kita berada hendaknya tahu akan hak kita dan tahu tindakan-tindakan yang harus kita lakukan ketika kehilangan kendaraan bermotor di parkiran, masih banyak lagi putusan-putusan sejenis yang dimenangkan pengguna jasa parkir. semoga dapat menambah kasanah tulisan yg membantu masyarakat di bidang parkir, salam konsumen cerdas :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar